Latest News

Saturday, 7 September 2019

WHAT IF, UU KPK Yang Baru Berlaku


WHAT IF
UU KPK Yang Baru Berlaku

Maka Direktorat Penyelidikan akan total berhenti bekerja, dikarenakan saat ini tidak ada satupun Penyelidik KPK yang berasal dari Kepolisian, sedangkan didalam UU KPK yang baru Penyelidik KPK harus Polisi. Sekitar 20 Satgas dengan personel sekitar 300 orang yang ada di Direktorat Penyelidikan harus berhenti melaksanakan tugasnya di seluruh Indonesia.

Seluruh Penyelidik KPK yang saat ini sedang melaksanakan pemeriksaan calon saksi, pencarian alat bukti, surveillance, dan persiapan operasi tangkap tangan di seluruh Indonesia harus berhenti seketika atas perintah Undang-Undang KPK yang baru. Seluruh Sprinlidik, Sprin Penyadapan, Pencekalan, dan administrasi penyelidikan lainnya secara otomatis juga akan Batal Demi Hukum.

Tidak terbayang berapa ratus kasus yang harus berhenti saat itu juga, karena jika dilanjutkan maka Penyelidik-Penyelidik KPK yang bukan Polisi tersebut telah melakukan perbuatan Pidana menyalahgunakan kewenangan yang ada pada dirinya. Dan sebagaimana yang kita ketahui, OTT KPK di laksanakan oleh Direktorat Penyelidikan, maka KPK tidak akan bisa melaksanakan kegiatan OTT lagi.

Sementara mengganti personel secara total seluruh direktorat mulai dari Direktur, Kasatgas, dan Penyelidik bukanlah hal yang dapat dilakukan dalam 1 malam, perlu 17 tahun membangun KPK, bahkan sampai dengan hari ini KPK terus membangun system, dan SDM personel pada Direktorat Penyelidikan. Ketika UU KPK yang baru di ketuk palu, maka Direktorat Penyelidikan KPK akan mati total.

Direktorat Penyidikan juga akan bernasib sama, karena lebih dari setengah Penyidik yang ada di KPK saat ini berstatus Penyidik asli KPK, yang bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Secara otomatis 20 Satgas Penyidikan yang ada di KPK sekarang akan lumpuh seketika, karena Sprindik, BAP, BA Penahanan, BA Sita, dan seluruh Administrasi Penyidikan akan batal demi hukum karena dilaksanakan oleh Kasatgas dan Penyidik yang tidak memiliki kewenangan sebagai Penyidik KPK berdasarkan UU KPK yang baru.

Seluruh perkara yang saat ini di sidik oleh KPK akan berhenti otomatis, dikarenakan pemeriksa nya adalah orang-orang yang tidak memiliki kewenangan sebagai Penyidik. Tidak bisa dibayangkan, berapa perkara yang harus berhenti, berapa nilai penyitaan yang akan tidak sah/hilang, dan berapa tersangka yang penahanannya sudah tidak sah dikarenakan dilaksanakan oleh Penyidik yang tidak sah. Mengganti lebih dari setengah personel Penyidikan di KPK dengan orang yang benar-benar baru dari Kepolisian tidak semudah membalik telapak tangan. Masing-masing Kasatgas dan Penyidik-Penyidik KPK yang selama ini bertugas tersebut telah mempelajari kasus yang di pegang oleh satgas masing-masing selama bertahun-tahun. Transfer of knowledge dan tune in terhadap perkara, siapa yang akan di tahan, berapa uang yang akan di sita, dimana alat buktinya, apa perkara asalnya, akan mengembang kemana, dari seluruh masing-masing ratusan kasus yang ada di KPK tentu tidak bisa di sulap dalam semalam.
Direktorat Penyidikan akan lumpuh.

Direktorat Penuntutan juga akan bernasib sama, berdasarkan UU KPK yang baru penuntutan perkara di KPK harus mendapatkan ijin dari Jaksa Agung. Maka ratusan perkara yang saat ini sedang berjalan penuntutannya di seluruh Pengadilan Tipikor di seluruh penjuru Indonesia harus berhenti. Karena rencana penuntutan, jumlah lamanya tuntutan penjara, jumlah banyak nya uang yang akan disita negara, harus di ajukan terlebih dahulu ke Kejaksaan Agung untuk mendapatkan persetujuan Jaksa Agung. Seluruh penuntutan perkara berjalan, secara administratif harus berhenti dan secara bersamaan harus di ajukan terlebih dahulu kepada Jaksa Agung. Seluruh pekerjaan di Direktorat Penuntutan akan berhenti sampai dengan keluarnya ijin Jaksa Agung pada tiap-tiap perkara berjalan.

Begitu pula dengan kedeputian lainnya yang ada di KPK, Pencegahan, INDA, PIPM, Setjend, dll, seluruh pejabat dan staf fungsional yang ada di KPK harus berhenti bekerja dikarenakan pada saat UU KPK yang baru telah disahkan, secara otomatis seluruh pegawai KPK akan kehilangan status kepegawaiannya, dan sekaligus kewenangan masing-masing staf fungsional sebagaimana yang tertulis didalam surat tugas masing-masing.

Berdasarkan UU KPK yang baru seluruh Pegawai KPK harus PNS, sedangkan saat ini hampir 80-90 persen pegawai di KPK adalah pegawai asli KPK yang bukan PNS. Andaikata akan dilaksanakan konversi besar-besaran sekitar 1500 orang pegawai KPK menjadi PNS, maka berdasarkan UU ASN pegawai-pegawai KPK tersebut harus melewati beberapa tahapan. Mereka semua harus lulus tes CPNS, harus di mintakan rumpun jabatannya kepada BKN dan Menpan, harus di konversi 45 rumpun grading yang ada di KPK menjadi sekitar 10 golongan yang ada di PNS. Selain itu harus pula dibuat “rumah” baru klasifikasi jabatan, pangkat, golongan.

Seluruh Perkom Rumpun Jabatan dan Fungsional yang ada di KPK akan batal demi hukum. Secara keorganisasian KPK akan direkonstruksi total. Meskipun UU KPK yang baru memberikan opsi pegawai tetap yang ada sekarang bisa menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)/pegawai kontrak, namun hal tersebut tentu tidak bisa dilaksanakan dengan serta merta, dikarenakan harus di ajukan terlebih dahulu ke Badan Kepegawaian Negara, MenPAN, dan Kementrian Keuangan, ada proses administratif yang masih panjang dan berliku untuk menuju kesana.

Seluruh pegawai KPK yang saat ini bertugas di seluruh Indonesia di seluruh kedeputian dan direktorat harus berhenti bekerja di karenakan surat perintah tugas yang saat ini mereka pegang telah batal demi hukum oleh UU KPK yang baru. Seluruh pegawai KPK akan kehilangan status kepegawaiannya dan setiap tindakan mereka setelah di sahkannya UU KPK yang baru adalah tidak sah serta bisa berakibat Pidana bagi yang bersangkutan. KPK akan shut down.

Kesempurnaan matinya KPK dalam UU KPK yang baru ini adalah dirubahnya KPK dari Lembaga Independen menjadi Lembaga Pemerintah Pusat di bawah Presiden, yang jelas-jelas bertentangan dengan Piagam PBB (UNCAC) yang telah di ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC dimana tercantum pada article 6 bahwa negara penandatangan konvensi harus memiliki lembaga Anti Korupsi yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat Independen dan bebas dari kekuasaan manapun.

No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post