Monday, 16 September 2019
Untuk menyadarkan bahwa orang-orang KPK yang sekarang ceriwis menolak revisi UU KPK
Cerita tentang KPK, DPR dan pemerintah, mungkin tak akan pernah habis dibahas. Karena semua punya masa lalu, seperti cerita mantan yang mustahil begitu saja dilupakan.
Saya sudah dua kali menuliskan artikel terkait KPK, tapi itu hanya beberapa poin yang saya yakini kebenarannya. Kalau masuk pada wilayah abu-abu, mungkin akan jauh lebih seru. Tapi ya itu, hal-hal yang masih abu-abu hanya cukup untuk diskusi tertutup.
Secara garis besar, saya melihat ada pola yang sama dalam setiap penilaian yang kita berikan. Tidak hanya soal isu KPK, tapi di banyak permasalahan, dari yang remeh sampai urusan serius. Menurut teori problem solving yang pernah saya pelajari, setiap orang yang melihat eror atau masalah, selalu mencari apa yang salah dan kurang. Dan setelah kita perbaiki elemen yang menurut kita salah atau kurang, ternyata tetap eror. Perilaku semacam ini terus berulang, bahkan meski kita sudah pernah mempelajari teori analisisnya.
Padahal, sebuah masalah atau eror itu hanya bisa diselesaikan pada titik permasalahannya. Maksudnya, dalam sebuah komponen, cerita, isu ataupun kasus, mungkin ada banyak bagian yang kita anggap salah dan menjadi penyebab permasalahan. Tapi kadang, yang salah-salah itu tidak langsung bersinggungan dengan pokok permasalahan yang ingin kita selesaikan.
Dalam hal KPK, revisi UU yang diajukan oleh DPR dan kemudian direspon oleh Presiden, tidak bisa hanya dilihat dari kesalahan-kesalahan yang kita yakini kebenarannya. Contoh, mungkin Novel Baswedan itu memang bermasalah. Dan kasus penyerangan pada dirinya tempo hari, yang membuat Novel kehilangan matanya, tidak bisa ditafsirkan hitam putih, Novel baik dan yang nyerang jahat. Tidak bisa. Pun tidak bisa kita simpulkan bahwa Novel dan Anies yang masih satu keluarga, kongkalikong demi kepentingan politik dan korupsinya. Apalagi ini jaman digital, semua jejak mudah didapatkan, dan bukti sekecil apapun bisa dijadikan patokan.
Dan akhirnya, kalaupun kemudian Novel diberhentikan misalnya, itu tak akan otomatis menyelesaikan masalah di KPK. Karena sekali lagi, sebuah masalah hanya bisa diselesaikan dengan mengetahui penyebabnya dan memperbaikinya. Bukan mencari apa yang salah.
Jokowi sebagai Presiden berhasil menganalisa pokok permasalahan yang ingin dibahas oleh DPR. Yakni perlunya dewan pengawas, karena selama ini tidak ada pengawasan terhadap KPK. Padahal Presiden saja diawasi. Kemudian perlunya aturan SP3, karena KPK selama ini belum punya aturan tersebut. Selebihnya Presiden tak setuju dengan pembatasan penyadapan, pembatasan LKHPN, pembatasan penyelidkan dan penyidikan.
Kalau dengan poin-poin ini kemudian ada orang yang masih mempertanyakan ataupun menyalahkan Presiden, yang harus ditanyakan adalah bagian mana masalahnya? Baru setelah itu kita diskusi dan berbagi argumen.
Tapi, kalau kalian hanya fokus pada; pokoknya tolak revisi UU KPK, ya terpaksa harus saya bilang bahwa KPK yang kamu bela mati-matian itu tak lebih bersih dari Presiden Jokowi.
Kamu tahu Abraham Samad, mantan pimpinan KPK? Yang dulu kita anggap sebagai pemimpin berkharisma, pahlawan anti korupsi dan seterusnya. Faktanya punya ambisi kekuasaan dan menggunakan KPK sebagai senjata yang ditodongkannya pada partai politik. Melakukan negosiasi politik dengan PDIP agar dicalonkan sebagai Wapres Jokowi.
Dan setelah Samad batal dicalonkan, segala gerak Presiden Jokowi direcoki. Niat Presiden minta penilaian calon-calon menteri, eh KPK malah mengatur Presiden untuk menghapus nama-nama yang distabilo merah. Lalu saat Budi Gunawan dicalonkan sebagai Kapolri, KPK langsung menetapkannya sebagai tersangka tanpa bukti yang cukup.
Lalu sekarang kita dipaksa setuju dengan pernyataan Samad bahwa revisi UU KPK akan melemahkan dan membuat mati suri? Mungkin maksudnya lemah karena tidak bisa lagi dijadikan senjata untuk nodong partai politik, seperti yang dilakukannya dulu.
Bambang Widjoyanto, pernah memberikan kesaksian palsu dalam persidangan MK. Dalam kasus sengketa Pilkada di Kotawaringin Barat 2010. Maka wajar kalau dalam sidang sengketa Pilpres, BW sempat menghadirkan saksi-saksi yang aneh dan sempat membuat kubu 01 geram ingin memproses BW.
Kenapa saya tiba-tiba membahas ini? membuka cerita lama. Untuk menyadarkan bahwa orang-orang KPK yang sekarang ceriwis menolak revisi UU KPK itu adalah orang-orang yang dulu bermasalah. Selain itu, fakta membuktikan bahwa KPK memang pernah disalahgunakan.
Kalau dengan fakta-fakta ini kalian masih membabi buta membela KPK, lalu apa bedanya kalian dengan pendukung Rizieq yang meyakini betul bahwa sang habib adalah keturunan nabi paling suci, menutup mata pada kasus Firza dan segala penghinaannya terhadap simbol negara?
Saya tak punya kepentingan di kasus KPK. Toh saya bukan orang politik dan bukan pejabat. Catatan ini hanya pengingat, agar kita semua bisa buka mata, siapa KPK yang sedang kalian bela? Dan siapa Jokowi, Presiden Indonesia yang sedang kalian sudutkan. Begitulah kura-kura.
https://seword.com/politik/faktanya-jokowi-lebih-bersih-dari-kpk-pTnZCzm9uc
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10156705100457817&id=687807816
Ade Armando
1 hr ·
YANG ADA DI KPK BUKAN KELOMPOK TALIBAN TAPI KELOMPOK ISLAMIS
Saya cuma ingin berbagi pengetahuan berdasarkan percakapan saya dengan kawan-kawan pemerhati KPK dan bacaan saya mengenai KPK. Terutama soal: adakah Taliban di KPK?
Kalau Taliban diartikan sebagai kaum radikal dan ekstremis. tentu tidak ada kelompok seperti itu di KPK.
Yang jadi masalah di KPK bukanlah kaum Taliban. Yang jadi masalah adalah penguatan kaum Islamis.
Istilah Islamis lazim digunakan untuk merujukpada orang-orang Islam yang memperjuangkan penegakan syariah berdasarkan aturan Al Quran dan Sunnah/Hadits di semua lini kehidupan.
Mereka adalah kalangan yang percaya bahwa Indonesia seharusnya menjadi negara Islam dan dipimpin oleh pemerintahan Islam.
Kaum islamis dalam 20 tahun terakhir berusaha menguasai lembaga-lembaga strategis di negara: kementerian, lembaga negara independen, organisasi Islam, masjid, sekolah, universitas, Badan Eksekutif Mahasiswa, instansi pemerintah, BUMN, partai dst.
Begitu juga di KPK.
Kaum Islamis ini saat ini belum bisa menguasai pimpinan KPK, karena para pimpinan KPK dipilih oleh DPR yang tidak didominasi orang-orang seideologis mereka. Tapi mereka bisa sangat aktif di lapisan-lapisan lebih bawah.
Banyak kaum Islamis ini ditemukan di jajaran pegawai KPK, baik di kalangan penyidik/penyelidik maupun pegawai lainnya.
Jumlahnya mungkin tidak mayoritas. Tapi sangat aktif dan kencang suaranya.
Mereka inilah yang misalnya ketika PilGub DKI 2016/2017 terlibat dalam gerakan 212. Merekalah yang mengundang ustad-ustad Islamis ke masjid KPK, termasuk ustad Zulkarnaen yang legendaris itu. Mereka yang membangun imej bahwa KPK semakin Islami: yang cowok, seperti Novel Baswedan, mengenakan peci putih; ada yang bercelana cingkrang, berjenggot, pas azan langsung berbondong-bondong sholat, bikin pengajian dst.
Kecurigaan terhadap kelompok ini tidak bisa dilepaskan dari konteks ancaman kaum Islamis lebih luas di Indonesia. Ketika kaum Islamis ini nampak semakin menguat di Indonesia, dengan segera banyak orang kuatir bahwa akan ada Islamisasi di KPK.
Mereka terutama bergabung dalam Badan Amil Islam KPK (BAIK). Sekadar catatan: para pegawai Kristen juga punya wadah: lembaga Oikumene.
Celakanya, kelompok Islamis ini kemudian menemukan wadah untuk menunjukkan eksitensi mereka, yakni Wadah Pegawai (WP). Lembaga non-struktural secara perlahan didominasi oleh kaum Islamis. Ketuanya pada 2016-2018 adalah Novel Baswedan. Dan sejak 2018, diketuai oleh Yudi Purnomo.
Novel sendiri kabarnya bukan bertipe radikal. Tapi dia memang kecewa karena Presiden Jokowi dianggapnya tidak serius memerintahkan anakbuahnya membongkar kasus penyiraman air keras ke wajahnya beberapa tahun lalu. Kubu Novel menduga aksi kekerasan itu dilakukan oleh petinggi POLRI. Tidak berlanjutnya pembongkaran kasus penyerangan itu seperti semakin mengukuhkan tuduhan mereka bahwa Jokowi memilih berada bersama polisi ketimbang KPK sipil. Apalagi kemudian, kaum Islamis terus mendekati dan berada di belakang Novel. Oh ya jangan lupa, Novel didatangi juga oleh sang Gubernur DKI yang sesama Baswedan. Lengkaplah sudah.
WP ini bukan sekadar menjadi lembaga komunikasi pegawai KPK, tapi juga menjadi kelompok penekan terhadap pimpinan KPK. Mereka sangat aktif menyuarakan kepentingan mereka, yang dalam beberapa kasus mengganggu kerja KPK sebagai lembaga, dan bahkan seperti mengabaikan otoritas pimpinan KPK.
Contoh yang dulu meledak adalah perseteruan Novel Baswedan (sebagai Ketua WP) dengan Aris Budiman (Direkatur Penyidikan KPK). Novel tidak setuju dengan keputusan Aris merekrut tenaga penyidik dari kepolisian. Dia berkirim email pada Aris dengan kalimat, kurang lebih, “Anda adalah penyidik terburuk dalam sejarah KPK”. Celakanya, email itu kemudian tersebar ke berbagai media. Kabarnya, yang menyebarkan email tersebut pada media adalah WP. Gara-gara email itu, hubungan antara penyidik/penyelidik kepolisian dan non-kepolisian meruncing.
Ketua WP yang sekarang, Yudhi Purnomo, tidak kalah tajam. Dia mengatakan: “Wadah pegawai tidak cuma berani ke koruptor, tapi juga ke atasan”. Tahun lalu, WP menggugat keputusan pimpinan KPK merotasi pegawai ke PTUN. WP pula yang aktif melakukan serangkaian aksi protes dalam proses pemilihan anggota KPK dan Revisi UU KPK.
Pembesaran kekuatan WP yang didominasi kaum Islamis inilah yang turut mendorong lahirnya narasi Taliban di KPK seperti yang diramaikan kemudian. Apalagi kelompok-kelompok Islamis ini memang tidak sungkan menunjukkan identitas ideologis mereka. Ketika berunjuk rasa di KPK, mereka dengan lantang bertakbir: “Allahu Akbar!”.
Persoalannya juga, para pimpinan KPK seperti tidak berdaya menghadapi pembesaran kekuatan WP. Kewibawaan pimpinan KPK di hadapan WP terkesan rendah.
Nah fakta bahwa memang ada kelompok Islamis yang aktif bergerak inilah yang kini dijadikan bukti oleh mereka yang berusaha menggolkan Revisi UU KPK dan mengarahkan proses pemilihan pimpinan KPK bahwa KPK tidak lagi independen dari kepentingan-kepentingan politik dan ideologis di luar KPK.
Kehadiran kaum Islamis jadi (salah satu) jalan masuk bagi pengendalian kewenangan KPK.
Sebagai orang yang sedang mempelajari gerak kaum Islamis di Indonesia, saya merasa tidak berlebihan kalau ada tuduhan bahwa kekuatan kaum Islamis menguat di KPK. Ini terjadi banyak lembaga lain. Dan tanda-tandanya jelas terlihat juga di KPK. Dan itu harus dihentikan.
Kaum Islamis bukanlah sekadar kelompok pengajian atau kelompok yang bersatu karena kesamaan agama. Kelompok Islamis memang memiliki agenda untuk menegakkan Syariah di Indonesia. Mereka memandang persatuan yang harus ditegakkan adalah persatuan umat Islam, bukan persatuan bangsa.Dan karena itu mereka harus merebut kekuasaan di lembaga-lembaga strategis di Indonesia. Kaum Islamis, menurut saya, adalah kanker.
Tapi pada akhirnya, kita juga tentu tidak ingin bila kemudian kekuatiran ini berujung pada pemandulan independensi KPK. Kita tidak ingin bila kekuatiran ini membuat upaya pengendalian kaum Islamis menyebabkan KPK justru mengalami kesulitan dalam perang melawan korupsi.
Bagi saya, perang melawan korurpsi dan perang melawan islamis adalah dua agenda perang terpenting Indonesia saat ini.
Kaum Islamis jelas ada di KPK. Tapi itu tidak boleh menjadi alasan bagi pelemahan KPK.
Ramai-ramai Tolak RKUHP, Ratusan Ribu Orang Tanda Tangani Petisi
Unjuk rasa menolak RKUHP di depan Gedung MPR/Net
Saat UU KPK baru masih menyisakan polemik, DPR justru akan segera mengesahkan RUU kontroversial lainnya, yaitu Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Revisi ini dilakukan untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini, yang merupakan peninggalan kolonial Belanda.
Sayangnya, terdapat beberapa pasal yang membuat publik mengernyitkan dahi dan akhirnya menolak RKUHP ini. Penolakan ini dilakukan melalui petisi yang disebarkan secara online.
Ya, di dunia maya saat ini tengah ramai dengan sebuah portal petisi yang berisi penolakan RKUHP. Petisi yang berjudul "Presiden Jokowi, Jangan Setujui RKUHP di Sidang Paripurna DPR" ini telah ditandatangani oleh lebih dari 400 ribu orang.
Menurut petisi ini, terdapat beberapa pasal yang justru mengkriminalisasi orang-orang yang tidak sepatutnya, seperti:
1. Pasal 470 Ayat 1: Korban perkosaan akan dipenjara hingga 4 tahun jika menggugurkan janin hasil perkosaan tersebut.
2. Pasal 432: Wanita yang bekerja pulang malam dan terlunta-lunta di jalanan akan dikenai denda sebesar Rp 1 juta.
3. Pasal 419: Wanita dan pria yang tinggal satu atap tanpa ikatan perkawinan akan dipenjara hingga 6 bulan.
4. Pasal 432: Pengamen akan dikenai denda sebesar Rp 1 juta.
5. Pasal 432: Tukang parkir ilegal akan dikenai denda sebsar Rp 1 juta.
6. Pasal 432: Gelandangan akan dikenai denda sebesar Rp 1 juta.
7. Pasal 432: Disabilitas mental yang ditelantarkan akan dikenai denda sebesar Rp 1 juta.
8. Pasal 218: Jurnalis maupun masyarakat akan dipenjara 3,5 tahun bila mengkritik presiden.
9. Pasal 414, 416: Orang tua tidak diperbolehkan menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak karena bukan "petugas berwenang".
10. Pasal 417: Anak yang diadukan berzina oleh orang tuanya akan dipenjara hingga 1 tahun.
11. Pasal 2 jo Pasal 598: "Kewajiban adat" yang dianggap melanggar "hukum yang hidup di masyarakat" akan dipidana.
12. Pasal 604: Keringanan hukuman koruptor, dari 4 tahun menjadi 2 tahun penjara.
Selain pasal-pasal yang terdapat di petisi ini, ada banyak pasal lainnya yang dianggap kontroversial. Seperti Pasal 188 yang melarang penyebaran paham Komunisme meski unntuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Diketahui, RKUHP ini akan disahkan oleh DPR RI dalam sidang paripurna pada 24 September mendatang
Untuk menyadarkan bahwa orang-orang KPK yang sekarang ceriwis menolak revisi UU KPK
Reviewed by Mpg
on
00:29
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment