Latest News

Monday, 16 September 2019

KPK BOBROK, DPR MENARI, JOKOWI BERAKSI


Saya dan publik awam selama ini terkecoh. Saya bersama para seniman dulu membela KPK. Mati-matian. Bersama Arswendo Atmowiloto, Sys NS, Djadjang S. Noer, para rektor, mahasiswa, duduk bersama dengan pimpinan KPK – mendukung ditangkapnya Setya Novanto. Namun, ternyata kami, kita tidak terlalu benar. Kita tidak melihat KPK dengan jernih. KPK ternyata bobrok.

KPK Gerbong Kereta Reot

Ternyata perang antar kelompok di KPK tidak bisa ditutupi lagi. Model KPK seperti ini sudah lama berlangsung. Ada penasihat KPK. Namun tidak berfungsi. Adanya sinyalemen kekuasaan KPK ada di bagian divisi Penyidikan makin terbukti kebenarannya.

Kasus Novel Baswedan – Novel sendiri sebagai masalah karena mewakili kelompoknya – adalah potret betapa internal KPK terpecah-belah tanpa arah. Catatan tentang penindakan juga memble. Biaya karyawan dan pimpinan KPK yang Rp1 triliun juga tidak sedikit. Namun prestasinya cuma kecil-kecilan, tangkap tangan sekelas Rp 250 juta si Rommy, atau tangkap tersangka yang digantung kasusnya seperti RJ Lino. Berantakan.

Kasus besar seperti BLBI, Hadi Poernomo, RJ Lino juga, skandal Bank Century sama sekali tidak disentuh. Kasus besar lain seperti E-KTP pun berhenti di Setya Novanto. Keterlibatan pembuat kebijakan besar seperti Gamawan Fauzi tidak tersentuh. Belum lagi kasus-kasus lain ketika KPK ‘sengaja’ kalah melawan misalnya Hadi Poernomo. Caranya?

Ya KPK asal-asalan menetapkan tersangka. Dengan demikian ada lubang jarum kemenangan untuk tersangka. Karena sesungguhnya KPK sudah tahu semua kemungkinan – dan KPK abai tentang hal itu.

Kini Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango telah terpilih menjadi pimpinan KPK. Kegerahan muncul tanpa batas di internal KPK. Bahkan para karyawan KPK serasa menjadi pemilik KPK. Namun, publik seharusnya paham bahwa justru di sinilah masalah besar tentang KPK.

Para karyawan yang nota-bene adalah karyawan bersuara menentang para calon pemimpin KPK. Padahal mereka karyawan lembaga ad hoc. Kelakuan mereka menunjukkan bahwa KPK memang disandera oleh para karyawan yang saling terpecah.

Bahkan muncul faksi-faksi yang disebut faksi Taliban, faksi Nasionalis, lain-lainnya. Artinya di dalam tubuh karyawan KPK bersemayam perpecahan. Bukti perpecahan itu terkuak lebar.

Saut Situmorang gerah dan hengkang, justru ketika Alexander Marwata, rekannya terpilih lagi. Saut dan karyawan KPK menolak Firli Bahuri. Artinya ada perbedaan sikap terhadap Alex dan Firli. Bahkan Firli adalah anak buah Saut dan rekan kerja para karyawan KPK.

Pimpinan KPK gerah dan menuduh Firli melakukan pelanggaran berat. Namun,pelanggaran berat itu tidak diumumkan sampai Firli maju dalam fit and proper test di DPR. Aneh. Harusnya pecat sejak awal, jauh-jauh sebelum penjaringan dan pemilihan calon KPK. Artinya, perpecahan dan konflik kepentingan di antara para karyawan dan pimpinan KPK.

Pecat dan Batasi Masa Kerja Karyawan KPK

Catatan khusus adalah para karyawan KPK yang sudah menguasai medan KPK harus ditinjau ulang. Salah satunya adalah membatasi masa kerja karyawan KPK. Tujuannya agar mereka tidak mengendalikan KPK, bahkan mengarahkan kasus, memilih kasus, dan administrasi kasus yang bersifat permanen dan dikuasai oleh mereka.

Ketua KPK terpilih, Firli Bahuri dan kawan-kawan sebaiknya memecat seluruh karyawan yang arogan menolak pimpinan KPK yang baru. Kegilaan subordinasi karyawan KPK. Tak boleh dibiarkan karena akan semakin merusak KPK dari dalam. Bagusnya mereka mundur dari KPK. Karena catatan mereka akan dibuka oleh Pimpinan KPK yang baru. Dari unsur Kepolisian yang selama ini mereka tolak.

DPR dan Presiden Unjuk Gigi

DPR pun unjuk gigi. Meskipun ada kepentingan – dalam politik selalu ada kepentingan –DPR berkuasa untuk menentukan arah KPK melalui revisi UU KPK. KPK yang berdiri tanpa pengawasan dinilai kebablasan. Buktinya?

Fungsi penyadapan menjadi sesuatu yang tidak terkontrol. Tidak ada laporan dan audit tentang cara dan fungsi penyadapan. KPK menjadi negara dalam negara. Tanpa laporan sinyalemen penyalahgunaan penyadapan eksklusif – jika dikuasai oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan di luar KPK. Ini urgensi memotong hak eksklusif penyadapan. Apalagi jika benar KPK tersusupi ‘Polisi Taliban’ artinya kaum radikal, maka akan sangat membahayakan negara.

Memahami hal tersebut, Jokowi bertindak. Mendapatkan masukan dari kelompok kecil di Yogyakarta, Jokowi dengan sigap menjelaskan dan bersikap realistis. KPK yang tanpa pengawasan – ketika kebobrokan dan perpecahan ada di dalam KPK – maka Jokowi pun mengirimkan Surat Presiden untuk membahas Revisi UU KPK. Wujud penyelamatan NKRI dari radikalisme yang sedang diperangi yang disinyalir telah masuk ke dalam KPK. (Penulis: Ninoy N Karundeng).


KPK MEMBUKA KEDOK, MENSASAR JOKOWI

Siapa sih, yang mengangkat KPK jadi malaikat?

Lembaga ini dianggap suci. Bebas dari kesalahan.
Siapa saja yang mengkritik dan menyentuhnya akan dituding prokoruptor. Sebuah tudingan yang terus dimainkan sampai sekarang.

Sepertinya di seluruh Indonesia, yang paling bersih hanya mereka saja. Semua maling. Atau temannya maling.

Jadi jika ada rencana sedikit saja menyentuh mereka. Mengurangi kekuasaan mereka, langsung dituduh sebagai maling atau temannya maling.

Baru saja Novel Baswedan menuding Jokowi prokoruptor. Hanya karena Presiden menyetujui pembahasan RUU KPK.

Ketua KPK Agus Raharjo dan komisioner lain Laode M. Syarif ikut bermanuver. Mereka mengatakan mengembalikan mandat ke Presiden. Tapi, kayaknya sekadar manuver doang. Sebab mereka juga bilang, kalau Presiden masih mempercayakan kepada mereka jabatan itu, mereka bersedia.

Aneh. Masa tugas komisioner sampai Desember nanti. Ngapain juga berkoar-koar mau mundur, dengan embel-embel kalau masih dipercayakan bersedia melanjutkan. Kalau mau mundur, ya mundur saja. kirim surat. Letakkan jabatan. Itu namanya sikap yang jelas. Bukan abu-abu kayak Syahrini, mundur-maju-mundur-maju, cantik.

Itu jelas cuma trik politik saja, untuk menembakkan masalah ini ke Presiden. Lagi-lagi sasarannya adalah Presiden Jokowi.

Saut Situmorang lain lagi gaya manuvernya. Dia duluan meletakkan jabatan. Mundur dari KPK. Tapi sampai sekarang masih bolak-balik berkantor di KPK. Alasannya surat mundur hanya untuk internal. Padahal surat itu tersebar ke seluruh jagad raya.

Ketika ditanya perkara Saut, Jokowi hanya menjawab ringan. "Mundur dari jabatan itu hak semua orang."

Untung saja dua orang komisioner lain --Basaria dan Alexander Marwata-- gak ikut bergenit-genit kayak mereka. Menandakan bahkan sikap komisioner saja pecah. Gak satu suara. Gak semua tertarik untuk menjadikan KPK sebagai alat politik.

Lembaga ini sudah sejak lama tercium aroma berpolitik. Suka dengan keriuhan. Suka dengan panggung. Perhatikan momen mereka mencuri panggung dalam banyak kasus, waktu yang dipilih selalu memancing huru-hara.

Kasus Budi Gunawan, misalnya. Ketika ada rencana dia mau disorong sebagai Kapolri, KPK buru-buru menetapkan sebagai tersangka. Pertanyaanya, kenapa gak sebelumnya. Kenapa momentumnya justru terlihat mengganjal.

Kasus Firli Bahuri, Ketua KPK terpilih, juga begitu. Seleksi sudah berlangsung lama. Tembakan pertama diarahkan ke tim seleksi. Mereka berkoar-koar menuding tim seleksi masuk angin.

Begitu nama-nama sudah terpilih dan tinggal tahap akhir, baru mereka menggelar konfrensi pers ngomong soal Firli. Kalau memang targetnya itu, kenapa gak sejak awal ngomong yang jelas?

Tentu saja, tujuannya agar Firli gak bisa membantah tudingannya sebab ditembakkan pas di momen akhir pemilihan di DPR. Jadi konfrensi pers itu tujuannya bukan untuk menginfirmasi sesuatu. Tapi sekadar trik mengganjal saja. Trik politik.

Padahal KPK juga bukan malaikat. Laporan keuangannya saja berstatus Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Sebab banyak barang sitaan yang gak dicatatkan. Bagaimana lembaga anti rasuah bisa ceroboh begitu, tapi merasa dirinya paling bersih?

Belum lagi pengabaian terhadap banyak tersangka. Ada tersangka yang sudah enam tahun tidak diproses. Ada yang sampai meninggal tetap sebagai tersangka. Karena KPK tidak bisa mencabutnya, sebab KPK tidak punya perangkat SP3. Bahkan kepada almarhum.

Yang menarik, untuk kasus RJ Lino, bekas dirut Pelindo II yang sudah enam tahun jadi tersangka. KPK beralasan belum membawa kasus itu ke pengadilan karena belum menghitung kerugian negara?

Hello? Kalau kerugian negara aja belum dihitung, terus apa yang dikorupsi?

Ada banyak bolong di KPK yang secara logis harus dibenahi. Wajar. Wong sudah 17 tahun. Tapi, begitu mau disentuh, buru-buru bermanuver, menyerang dan menuding orang lain.

Kini yang jadi sasaran adalah Jokowi.

Target tembakannya jelas. Bagaimana menggoyang Presiden. Sebab KPK sekarang bukan lembaga hukum. Mereka lembaga politik yang berlindung di balik nama hukum dan anti korupsi.

Entah apa tujuan sebenarnya.

No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post