PEMILIHAN Presiden 2019 ini sungguh mengentalkan polarisasi yang bersemayam sejak 2014 dan mendapatkan amplifikasi di pilkada DKI kemarin. Polarisasi antara kelompok konservatif yang dikotomistik dalam melihat segala hal dengan kelompok yang melihat peluang kemajuan terletak pada kebinekaan dan keterbukaan.
Benturan ini bukan kisah baru. Di berbagai belahan bumi lainnya, pertarungan politik semacam ini terjadi. Namun, berbeda dengan negara lainnya, polarisasi yang sangat tajam saya kira terjadi di tubuh politik bangsa ini. Polarisasi yang bukan hanya membelah politik, melainkan juga segala sesuatu yang bukan politik. Keyakinan terbelah. Profesi terbelah. Kampus terbelah. Semua terbelah.
Dalam pekatnya polarisasi semacam ini, semua hal menjadi politik. Kita tidak bisa berbicara apa pun tanpa disangkutkan ke politik. Semua menghamba pada politik. Seolah, politik adalah hidup mati kita semua. Alhasil, ruang publik kita saat ini disesaki fitnah, kampanye hitam dan asasinasi karakter.
Ruang publik bukan tempat pikiran dipertukarkan, melainkan sebaliknya, tempat kebencian dipropagandakan dan akal sehat diselewengkan. Bayangkan, orang sibuk berdebat tentang kriminalisasi tanpa tahu apa artinya ‘kriminalisasi’ sesungguhnya. Orang berdebat dengan kebencian sehingga melupakan kejernihan pikiran.
Kekeruhan ruang publik kita ditambah lagi dengan kehadiran cendekia-semu macam Rocky Gerung yang pandai meramu kata tetapi tidak menjelaskan apa-apa. Cendekia-semu ini, alih-alih menerangi publik dengan konsep-konsep yang jernih malahan berbuat sebaliknya.
Dia mengedarkan retorika bukan logika, hasutan bukan keterangan. Retorika cendekia-semu ini enak didengar, renyah diucapkan tapi tidak menambah apa-apa terhadap kualitas diskusi publik atau lebih jauh lagi: demokrasi kita. Publik tidak belajar apa-apa, tetapi hanya membeo apa pun yang dilontarkan cendekia-semu tersebut tanpa banyak tanya.
Kita semua patut curiga apa sebenarnya yang dipertaruhkan. Apakah itu kekuasaan? Ataukah uang? Apa pun itu yang pasti bukan kebenaran. Cendekia-semu selalu mengatasnamakan akal sehat. Namun, di sisi lain, rajin membombardir publik dengan hasutan, agitasi, atau propaganda yang tak berdasar.
Orang dibuat kagum dengan sofistikasi kata dan menjadi umat yang ikut kesana kemari. Mereka tidak sadar tengah menjadi korban agitasi yang dibungkus rapi dengan filsafat. Padahal, filsafat bukan bungkus, ia ialah isi. Filsafat bukan celotehan. Dia pikiran.
Pengedar pikiran-pikiran palsu di ruang publik ini yang merusak demokrasi. Dia membuat orang beropini tanpa tahu apa yang diopinikannya. Kebebasan berpendapat menjadi kesemenaan berpendapat. Ini diperparah lagi dengan media sosial kita yang membunuh kecendekiaan.
Semua orang bisa ahli semua hal di media sosial. Tidak ada lagi pakar. Semua pakar. Netizen sibuk berdebat dengan pengetahuan ensiklopedis: tahu banyak cuma sedikit-sedikit. Dalam situasi seperti itulah, pengedar pikiran palsu macam Rocky Gerung mendapatkan tempat terhormat.
Demokrasi kita harusnya bisa lebih baik lagi dengan kehadiran intelektual publik macam Rocky Gerung. Sayangnya, apa yang beliau lontarkan adalah pikiran partisan bukan konsep yang jernih dan membuka percakapan. Bolak-balik dia menghantam kebijakan pemerintah dan mengunci penentangnya dengan kata ‘dungu’.
Anehnya, dia tidak pernah mendungukan posisi politik tempatnya berdiri. Memang, pilihan politik adalah hak semua orang. Namun, pikiran jangan sampai diringkus sedemikian rupa oleh politik sehingga menurunkan mutu percakapan.
Rocky Gerung disebut sebagai profesor akal sehat. Dia berfilsafat di berbagai kesempatan. Saya setuju betapa pikiran berat macam filsafat harus urun rembuk membincang perkara-perkara publik. Pikiran filsafati harus mampu menjadi lampu penerang ide-ide sumir dan membangkitkan daya kritis publik.
Ketidaksetujuan filsafat terhadap posisi politik tertentu tidak diharamkan. Yang diharamkan ialah serangan intelektual tanpa basis pikiran yang solid. Demokrasi bukan basa-basi. Dia ialah proses pengambilan keputusan publik melalui akal sehat banyak orang. Untuk itu, filsafat tentu saja dibutuhkan supaya demokrasi bukan pertarungan opini belaka, apalagi opini bayaran atau sewaan.
Saya sendiri memandang demokrasi dengan ringan dan sederhana. Demokrasi hanya antrean ide untuk secara bergilir menjelma kekuasaan dan mengabdi pada orang banyak. Semua bisa keliru. Namun, saat pikiran menghianati publik secara brutal demi kekuasaan, saya takjub betapa kekuasaan ternyata disyahwati dengan sangat serius. Saat pikiran menghianati publik, inkonsistensi, retorika, kesemrawutan berpikir menjadi sebuah peluang kemenangan. Selamat tinggal kebenaran. Selamat datang kekuasaan.
Penulis: Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia
Source : http://m.mediaindonesia.com/read/detail/216816-pengkhianatan-pikiran-kepada-publik
No comments:
Post a Comment