Latest News

Sunday, 5 January 2020

Banjir Melanda dan Derita Jakarta


Di tengah rasa sukacita dalam aroma riang gembira menyambut malam pergantian Tahun Baru dari tahun 2019 ke tahun 2020, publik Jakarta dan seantero Tanah Air, dikejutkan oleh musibah

dari dulu, Jakarta memang dikenal sebagai Ibu Kota Negara yang langganan banjir hampir setiap tahun ketika tiba musim hujan, tetapi banjir kali ini tidak seperti biasanya, karena intensitas dan daya rusaknya relatif lebih masif dan meresahkan warga Jakarta, dan turut mencemaskan publik di negeri ini.

Pasalnya, hampir di berbagai titik lokasi yang biasa terkena banjir, kali ini mengalami genangan yang nyaris melampaui atap rumah hunian penduduk.

Bahkan pada sebagian titik lokasi, derasnya aliran banjir telah menghanyutkan apa saja yang berada di lokasi pemukiman, termasuk mobil mewah sekalipun, serta barang dan harta benda berharga lainnya.

Pada situasi dan momentum seperti ini, kita baru menyadari bahwa, sejatinya sebagai manusia biasa, pada akhirnya kita tak berdaya jika bencana alam datang menimpa, bila manusia tak pernah belajar dari pengalaman hidupnya dalam peristiwa serupa seperti bencana banjir ini.

Kecuali itu, berdasarkan pengalaman empiris dan kenyataan hidup, terungkap bahwa, musibah apapun akan berulang secara signifikan, bilamana manusia selalu berlaku jemawa, keras kepala dan mau menang sendiri, hanya supaya dapat memuaskan egoisme dirinya sendiri.

Sejarah Banjir di Jakarta
Sebagaimana setiap peristiwa bencana banjir yang melanda suatu wilayah atau daerah dan atau suatu kota, sudah barang tentu akan menyisahkan banyak hal yang membekas dalam dukalara kehidupan.

Peristiwa seperti itu, akan selalu diingat dalam pikiran setiap orang yang pernah mengalaminya, atau paling tidak tersimpan dalam memori publik atau dokumen sejarah yang pernah tercatat.

Sejarah juga pernah mencatat bahwa, bencana banjir di Jakarta bukan merupakan peristiwa yang baru terjadi kemarin sore, tetapi sudah sejak zaman dahulu kala.

Terkait dengan hal itu, Ahmad Arif (2020), melaporkan bahwa, sejak Jan Pieterszoon Coen membangun Kota Jakarta di muara Sungai Ciliwung pada tahun 1619, banjir sudah berulang kali melanda Jakarta.

Dalam sejarah juga tercatat bahwa, hanya dalam waktu tiga tahun setelah dibangun, pada tahun 1621, kota Jakarta mengalami banjir dalam skala besar dan masif.

Kemudian, banjir yang sama juga terjadi pada tahun 1654 yang menyebabkan secara perlahan, Kota Tua Jakarta mulai ditinggalkan, dan arah pertumbuhan kota menuju ke wilayah selatan.

Mempertegas hal tersebut di atas, Sejarawan Restu Gunawan yang juga menulis tentang Riwayat Banjir Jakarta, dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Sistem Kanal (2010), mengatakan bahwa, pada akhir abad ke-18, ada perpindahan besar-besaran warga Batavia (nama lama Jakarta), ke tempat yang lebih tinggi di Selatan yaitu Weltevreden, yang sekarang dikenal dengan nama Gedung Kesenian Jakarta, yang semula hutan dan rawa-rawa, kemudian berkembang pesat menjadi kota yang layak huni.

Kemudian, pada tahun 1807, Herman Wilem Daendels menjadikan Weltevreden sebagai pusat pemerintahan Kolonial Belanda di Asia.

Meskipun demikian, Batavia kembali mengalami banjir pada tahun 1895, 1899,1904, dan 1909.

Selanjutnya, pada tahun 1918, Batavia dilanda banjir hebat sehingga melumpuhkan kota itu selama sebulan penuh. Banjir terus melanda Batavia, hingga nama kota berubah menjadi Jakarta dan menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dan banjir pun tetap melanda Jakarta sampai sekarang.

Penyebab Banjir dan Krisis Ekologi
Mengamati bencana banjir seminggu ini, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab (2020), mengatakan bahwa, banjir di Jakarta dan sekitarnya kali ini disebabkan karena curah hujan yang ekstrem, di atas 150 mm per hari dan bersifat merata di hampir seluruh wilayah Kota Jakarta.

Dijelaskannya bahwa, bahkan curah hujan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, mencapai 377 mm per hari, dan menjadi rekor tertinggi dalam 154 tahun terakhir.

Atas penjelasan ini, dapat dipahami bahwa, hujan lebat memang menjadi pemicu awal terjadinya bencana banjir di Jakarta. Dan sekedar kilas balik, dapat dikemukakan bahwa, atas dasar analisis BMKG, menunjukkan beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu, misalnya, pada pada tahun 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2018 yang disebabkan oleh curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis yang menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas yang tinggi.

Mengamati kesesuaian tren kian seringnya banjir di Jakarta, dan kenaikan intensitas hujan maksimum per tahun, menurut data curah hujan harian 150 tahun (1866-2015), curah hujan harian di Jabodetabek, curah hujan harian tertinggi naik 10-20 mm tiap 10 tahun, dapat menjadi sumber penyebab terjadinya intensitas kejadian banjir melanda Jakarta.

Namun demikian, aspek cuaca seperti ini tidak dapat menjadi pembenar tunggal bagi banjir Jakarta dan sekitarnya yang telah menelan sedikitnya 30 korban jiwa.

Penyebab banjir di Jakarta tak hanya karena krisis iklim, tetapi juga karena Krisis Ekologi dan Krisis Sosial berupa besarnya limpahan air dari daerah hulu.

Hal ini disebabkan karena, rusaknya tutupan vegetasi, berkurangnya danau tempat penyimpanan air, mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan pembuangan sampah ke sungai, serta penurunan daratan akibat disedotnya air tanah.

Bencana banjir kali ini, menggenangi sedikitnya 75 persen wilayah Ibu Kota.

Akibatnya, sebagian besar aktivitas produktif di kawasan yang tergenang itu pun menjadi lumpuh. Jaringan telepon dan internet terganggu, serta sambungan listrik pun padam, paling tidak di kawasan yang terendam banjir.

Meskipun Jakarta dilanda banjir hampir setiap tahun, tetapi Jakarta selalu menarik bagi siapa saja.

Bahkan Band Legendaris Koes Plus pernah merilis album sebuah lagu dengan seuntaian liriknya yang demikian,

Di sana rumahku, dalam kabut biru..
Di sana kan ku berdiri di batas waktu yang telah tertentu..
Ke Jakarta ku kan kembali, walau apa pun yang telah terjadi..

Terkait dengan daya tarik Jakarta, meski selalu dilanda bencana banjir, tetapi Ivan Hadar (2007) mengatakan bahwa, memasuki usianya yang kesekian ratus tahun (492 tahun), selain bencana banjir tahunan, Jakarta memang selalu dililit berbagai persoalan pelik. Meski demikian, Jakarta tetap memiliki daya tarik yang kuat, terkait dengan tingginya peredaran uang, barang dan jasa.

Betapa tidak, sudah lebih dari tiga periode Pemerintahan Orde Baru saat itu, bahkan sampai pada periode pemerintahan saat ini, dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia di tanam di Jakarta.

Sementara, pada saat yang sama, 45 persen investasi dalam negeri juga ditempatkan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Maka, tak heran, jumlah penduduknya terus meningkat dari 435.000 jiwa pada tahun 1930 menjadi 9,8 juta (1995), dan sekarang sudah menjadi sekitar 10,5 juta jiwa. Diperkirakan, tiap tahun ada sekitar 250.000 hingga 300.000 orang pindah ke Jakarta.

Lebih lanjut Ivan Hadar menjelaskan bahwa, pada saat yang sama pertumbuhan pesat perekonomian Jakarta dan sekitarnya, memiliki juga banyak sisi gelap, terutama terkait dengan daya dukung ekologis.

Misalnya, bencana banjir, longsor, dan berbagai musibah alam lain yang merupakan indikasi seriusnya persoalan. Selain berbagai bentuk bencana itu, Jakarta dan Pantura (Pantai Utara), Jawa terancam mengalami kesulitan secara ekologis dan sosial.

Terkait dengan situasi dan hal tersebut di atas, beberapa tahun yang lalu, sebuah studi yang dilakukan oleh South Pacific Regional Enviroment Programme (SPREP), meramalkan bahwa pada pertengahan Abad 21, sebagian besar daerah pertanian dan tambak udang Pantura bakal terendam air akibat peningkatan muka air laut setinggi 45 cm. Penyebabnya, kenaikkan suhu global 2,5 derajad Celcius yang disebabkan oleh peningkatan emisi CO2 sebesar 200 persen.

Persoalan lain yang terkait dengan banjir di Jakarta adalah masalah perilaku sebagian besar masyarakat Jakarta dalam membuang sampah ke Sungai.

Sampah yang terangkut hanya sekitar 18 persen dari 7000-an ton sampah per hari yang dihasilkan masyarakat Jakarta. Sebanyak 40 persen lainnya dibuang bukan di tempat pembuangan resmi, dan sisanya (30 persen) dibuang ke sungai yang ikut menjadi penyebab terjadinya bencana banjir.

Memperhatikan dinamika dan perkembangan perilaku masyarakat Jakarta, tampak terasa bahwa daya dukung lingkungan Jakarta terus menurun seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat Jakarta.

Sebagian masyarakat Jakarta menyadari dan mengewatirkan kondisi lingkungan tersebut. Di sisi lain, kesadaran dan peran nyata dari publik diperlukan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan Ibu Kota.

Terkait dengan hal tersebut di atas, Puteri Rosalina, Litbang Kompas (2020), melaporkan bahwa, gambaran penurunan daya dukung lingkungan sudah terlihat dari berbagai masalah perkotaan yang timbul karena kerusakan lingkungan, termasuk karena masalah banjir.

Banjir merupakan masalah lama yang sudah terjadi sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda hingga sekarang. Sungai Ciliwung yang dulu menjadi pusat peradaban Kota Jakarta serta menjadi sarana distribusi perdagangan dan transportasi pelayaran, kini justeru menjadi salah satu sumber masalah banjir Jakarta.

Hal ini disebabkan lebar sungai semakin sempit karena okupasi permukiman, disusul persoalan sampah dan sedimentasi.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan banjir. Mulai dari pengerukan sungai, saluran, waduk, pemasangan pompa dan saringan sampah, hingga pembangunan Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Bogor, serta tanggul laut di Pesisir Utara. Namun berbagai upaya memelihara sungai dan penanganan banjir itu tampaknya belum berdampak efektif.

Hasil Jejak Pendapat Kompas di awal (Mei 2019), mengetengahkan bahwa, hampir separuh lebih responden (60 persen) berpendapat bahwa pemerintah belum efektif dalam memelihara kebesihan sungai di Jakarta.

Dikatakan demikian karena, upaya normalisasi sungai yang sudah berjalan sejak 2013 dihentikan sejak 2017. Justeru sebagai gantinya, Pemerintah DKI akan malakukan Naturalisasi Sungai.

Hal tersebut sedikit banyak berdampak pada ketidakpuasan masyarakat, dimana sebanyak 41 persen responden tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi persoalan genangan banjir di Jakarta.

Terkait dengan hal tersebut di atas, hampir separuh responden berharap adanya upaya pembersihan sungai, selokan, waduk dan bendungan dari sedimentasi atau sampah untuk mengatasi banjir di Ibu Kota.

Sebagian responden menyarankan supaya dilakukan upaya normalisasi sungai. Penanganan banjir dengan mengembalikan lebar dan memperbesar kapasitas sungai akan mengurangi banjir di Jakarta.

Kemurnian Hati Nurani
Sehubungan dengan Bencana Banjir yang melanda Jakarta dalam seminggu ini, mestinya sudah dapat diantisipasi dengan cermat karena peristiwa ini sudah sering terjadi.

Berkenan dengan hal itu, maka sebagaimana diketengahkan oleh Tajuk Rencana Kompas (2 Januari 2020) bahwa, datangnya bencana hidrologi sebenarnya dapat diperkirakan karena hal itu hadir bersamaan dengan tibanya musim hujan. Karena itu, pemerintah daerah sudah harus mewaspadai kemungkinan dampak banjir dan kemungkinan terjadinya longsor.

Menangani banjir di Jakarta dan di sekitarnya tidak dapat diselesaikan dengan cara biasa dan tambal sulam. Banjir dan genangan air sudah menjadi masalah Jakarta setidaknya sejak abad ke-17.

Penanganan banjir Jakarta sebaiknya dilakukan dengan "kebersihan motivasi dan kemurnian hati nurani", tanpa perlu adanya intervensi muatan politik yang terselubung. Oleh karena itu, penanganan banjir perlu dilakukan secara komprehensif dan harus dikaitkan dengan tata ruang dan tata guna lahan Jakarta serta kawasan hulu dan hilirnya.

Untuk dapat mengurangi dampak banjir di Jakarta, mungkin akan jauh lebih baik untuk melakukan upaya penampungan air hujan dengan membangun banyak situ di kawasan hulu, sebagai tempat parkir air, menata perencanaan penggunaan tanah di kawasan Bogor-Puncak- Cianjur.

Terkait dengan perkembangan situasi mutakhir penanganan banjir di Jakarta, Pemerintah Pusat perlu mengambil alih penanganan banjir Jakarta, karena melibatkan lintas lembaga pemerintah di pusat dan pemerintah daerah.

Penyelesaian pun sebaiknya dalam jangka waktu tertentu, dan perlu perencanaan jangka pendek dalam lima tahunan, serta harus dilakukan secara detail; dan perlu dikawal secara ketat mekanisme pelaksanannya.

Di samping itu, secara teknis dalam tempo singkat dengan tindakan yang cermat dan terukur, dapat segera dilanjutkan Normalisasi Sungai Ciliwung bersama Sungai Sunter, Sungai Angke dan Sungai Pesanggrahan.

Dan sebagaimana diutarakan di atas, tindakan normalisasi juga mesti diikuti dengan revitalisasi waduk dan situ serta penambahan luasan ruang terbuka hijau.

Dengan demikian, maka, jika ke 13 Sungai dan atau Kali di Jakarta ini, setiap tahun diprogramkan untuk dinormalisasi selama kurun waktu 5 tahun saja, serta merevitalisasi 109 waduk dan situ di Jakarta, lalu menambah 20 persen saja ruang terbuka hijau, maka adagium bahwa, Banjir Melanda, menyebabkan Derita Jakarta, tidak pernah akan terjadi lagi.

Goris Lewoleba
Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar VOX POINT INDONESIA.

Source : https://www.kompasiana.com/goris26070/5e114e59097f3654750e42e2/banjir-melanda-dan-derita-jakarta

No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post