MENTERI SEGALA URUSAN?
Oleh Prof. Wim Poli (Guru Besar Univ. Hasanuddin)
Kini, ketika kita menghadapi ancaman pandemi virus corona, banyak masalah yang harus dipecahkan segera. Dibutuhkan adanya orang yang rekam jejaknya menunjukkan bahwa: (1) ia tangguh secara fisik; (2) tinggi kemampuan analisisnya, dan (3) cepat membuat keputusan dengan risiko yang tertimbang. Masuk akal bahwa orang semacam ini selalu diandalkan oleh pimpinan tertinggi organsasi untuk memecahkan berbagai macam masalah. Ia dipilih karena ada rekam jejaknya yang meyakinkan. Dalam kosakata Ilmu Manajemen orang semacam ini dijuluki “trouble shooter.” Arti harafiahnya ialah: penembak masalah. Tembakannya harus jitu. Contohnya ada sepanjang sejarah.
Perancis, misalnya, pernah mengenal Jean-Baptiste Colbert (1619-1683) sebagai “trouble shooter” yang handal. Di bawah pemerintahan Louis XIV ia dijadikan menteri keuangan. Bukan hanya itu. Ia adalah menteri segala urusan, yang mengabdikan dirinya untuk pembangunan bangsa dan negara, dengan pengorbanan pribadi tanpa pamrih. Sebagai menteri segala urusan ia harus memilih pola kerja yang tepat. Kerja adalah agamanya, dan ia memilih untuk lambat tidur dan cepat bangun. Dengan pola kerja itu ia akhirnya meninggal, karena kekurangan gizi. Ia hanya mampu makan roti yang dicelupkan ke kaldu ayam. Itulah harga yang ditanggungnya sebagai menteri segala urusan.
Kita juga kenal tokoh “trouble shooter” pada masa pemerintahan Presiden Suharto, yaitu Laksamana Sudomo. Ia antara lain adalah penggagas “Sumbangan Dana Sosial Berhadiah” (SDSB) yang adalah lotere nasional dengan izin Departemen Sosial. Karena banyak tampil sebagai menteri segala urusan, SDSB dipelesetkan oleh Sudomo sendiri menjadi “Sudomo Datang, Semua Beres.”
Di samping kelebihan “trouble shooter” apa kekurangannya? Pertama, siapa pun orangnya, jatah jam kerjanya tidak lebih dari 24 jam dalam sehari. Ia selalu kekurangan waktu untuk menganalisis masalah dan membuat keputusan yang cepat dan tepat tentang banyak hal. Di situlah mulai muncul kekurangannya. Kalau mau cepat, mungkin tidak tepat, sehingga muncul peluang ketidak-percayaan kepadanya. Makin banyak ia berbicara tentang banyak hal, makin tinggi peluang ia salah tanggap dan salah ucap. Ketidak-percayaan orang terhadapnya adalah akibat yang wajar. Dan, ketidak-percayaan ini akan memantul ke ketidak-percayaan terhadap atasan yang telah memilihnya sebagai “trouble shooter.” Inilah gejala yang kini terbaca oleh umum tentang kekurangan sang menteri segala urusan. Bahkan, ada tokoh yang menilainya lebih berbahaya ketimbang virus corona.
Kekurangan lain, yang mungkin terjadi ialah: muncul berbagai “pembisik” yang mempengaruhi pikiran dan keputusan sang “trouble shooter” untuk memenuhi kepentingan mereka, yang mungkin tersembunyi. Tampaknya, dugaan ini kini muncul di benak para pengamat.
Kekurangan lain, yang mungkin ada, ialah: adanya kepentingan pribadi “trouble shooter” sendiri yang hendak dicapainya. Jika kemungkinan ini ada, kian berat beban yang akhirnya harus ditanggung atasannya.
Renungan: Dengan mengikuti pemberitaan di media massa, tampaknya Presiden Joko Widodo harus menanggapi pendapat yang ada tentang kekurangan sang menteri segala urusan. Semoga tanggapannya bersifat “menang-menang” yang melegakan banyak pihak, termasuk sang menteri . segala urusan.
*Tambahan saya: lihat comment di FB bagaimana ia sudah ada sejak Gus Dur
https://www.facebook.com/100006358147174/posts/2619798631575383/
No comments:
Post a Comment