Tuesday, 17 March 2020
BONUS JANGAN SAMPAI JADI SAMPAH
Saat ke Singapura, di toilet Bandara gue sering babget bertemu orang-orang tua yang bekerja sebagai petugas toilet. Kadang di restoran cepat saja, gue juga menuin oma-opa bersih-bersih meja makan.
[https://politikandalan.blogspot.com/2020/03/bonus-jangan-sampai-jadi-sampah.html]
Bukan hanya di Singapura. Di Jepang juga sama. Banyak orang usia kakek nenek masih aktif bekerja. Biasanya mereka bekerja ringan-ringan saja. Lagian mana sanggup kalau disuruh ngangkat gerobak bubur.
Fenomena oma-opa bekerja memang khas negara maju. Di negara itu, terjadi krisis kependudukan. Dimana penduduk usia tua semakin banyak. Sedangkan yang usia produktif berkurang jauh. Apalagi angka kelahiran juga rendah.
Kalau struktur penduduk banyak orang tua, tapi yang mudanya sedikit apa akibatnya? Secara agregat penduduk kurang produktif. Dan kita tahu, orang tua dan anak kecil, dalam konteks produktifitas harus ditanggung oleh mereka yang produktif. Akibatnya beban mereka yang bekerja berat banget. Kerja sendiri, buat menghidupi banyak orang.
Ada yang bebannya langsung kayak di Indonesia. Dengan pola hidup kekerabatan, orang tua biasanya dihandle anaknya yang produktif. Kalau di negara maju, biaya orang jompo ditanggung negara. Duitnya dari pajak orang yang kerja. Sama saja.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita ternyata sebaliknya. Jumlah penduduk usia produktif kita banyak. Inilah yang dikenal dengan istilah bonus demografi. Nanti pada 2030 sampai 2045 adalah puncak bonus demografi kita. Orang-orang muda yang masih segar jumlahnya paling banyak.
Mereka lulus dari sekolah. Lulus dari perguruan tinggi. Lalu setelah itu akan mencari kegiatan produktif.
Bayangkan jika saat itu lapangan kerja terbatas. Mau bikin usaha susahnya minta ampun karena ribet sama urusan administrasi. Modalnya juga cekak. Keterampilan kurang.
Struktur demografi bukannya bonus malah boncos. Orang muda yang nganggur sangat berbahaya. Energinya bisa merusak. Apalagi yang jadi laskar.
Orang muda ini lama-lama akan jadi tua. Artinya pada tahun 2070 misalnya, mereka akan jadi beban juga. Jadi harus secepatnya disiapkan lapangan pekerjaan dan usaha produktif buat mereka.
Makanya pemerintah mulai mikir dan ancang-ancang. Itulah yang menjadi titik tekan Omnibus Law Lapangan Kerja. Fokusnya membuat kemudahan bisnis, bagi usaha besar maupun usaha kecil.
Bisnis yang mudah, akan membuka lapangan kerja. Bagi yang mau usaha sendiri, bikin PT buat usaha kecil gak perlu biaya banyak. Cukup daftar ke Kemenhumkam. Gak usah pakai notaris segala. Tentu kalau untuk usaha menengah dan besar, tetap seperti biasa.
Bukan hanya itu. Segala perizinan dipangkas. Perda-perda yang biasanya menghambat investasi dibabat. Kita tahulah, kadang Pemda menjadikan perizinan jadi ajang memeras penguasaha. Itu sudah jadi rahasia umum.
Bukan berarti semua digampangkan. Soal Amdal, tetap digunakan. Tetapi gak lagi ribet. Amdal bukan di atas kertas. Tapi adanya di lapangan. Jadi gak perlu dipersulit.
Gimana soal tuntutan buruh yang menolak? Sialnya tuntutan itu banyak didasari pada hoax.
Misalnya ada isu pesangon dihapuskan. Padahal gak. Pesangon tetap wajib bagi perusahaan yang PHK karyawannya.
Bukan cuma itu. Bahkan buat karyawan kontrak, apabila gak diperpanjang wajib dapat pesangon juga. Sesuatu yang gak ada di aturan sebelumnya.
Sedangkan mekanisme UMR dibuat lbih simpel. Gak ada lagi upah Kabupaten Kota. Yang ada hanya upah Propinsi. Jadi dalam satu propinsi ada keadilan. UMRnya sama. Masa setiap Kabupaten Kota standar upahnya beda-beda?
Pekerja juga gak rugi, kale. Wong besaran UMR gak turun.
Mekanisme ini dibuat agar pengusaha nyaman. Pekerja juga nyaman. Mungkin saja yang gak nyaman serikat pekerjanya karena dalam beberapa kasus pengaruhnya berkurang. Misal serikat kelas kabupaten kota, gak bisa nekan-nekan lagi. Wong UMR dibahas level Propinsi.
Makanya banyak serikat marah. Ngajak-ngajak demo buruh menolak Omnibus Law yang mestinya gak merugikan buruh sama sekali. Modalnya dengan hoax.
Bahayngkan jika lapangan pekerjaan terbuka besar, kan buruh malah diuntungkan. Alternatif bekerja banyak. Bargainingnya meningkat. Bukan hanya bargaining serikat yang sering lebih petantang petenteng dibanding buruhnya
Dunia emang lagi demam sekarang. Perang dagang dan wabah Corona ikut memjadi pemicu.
Indonesia harus mengambil langkah besar. Kalau gak sekarang, kita akan ketinggalan kereta. Lapangan kerja harus cepat diciptakan.
Jika tidak. Khawatirnya anak-anak muda itu hanya jadi makanan kelompok intoleran. Yang diarahkan buat merusak Indonesia.
"Mas, kalau usaha Migas dipermudah juga gak?," tanya Abu Kumkum.
"Semua Kum. Emangnya kamu usaha Migas, apaan?"
"Jual minyak telon sama jamu tolak angin mas..."
by Eko Kuntadhi
https://politikandalan.blogspot.com/2020/03/bonus-jangan-sampai-jadi-sampah.html
BONUS JANGAN SAMPAI JADI SAMPAH
Reviewed by Mpg
on
02:46
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment