Latest News

Thursday, 31 October 2019

Kontroversi anggaran Lem Aibon DKI sebesar 82 miliar


Kontroversi anggaran Lem Aibon DKI sebesar 82 miliar, yang diplesetkan meme James Bond, membuat saya terkenang jaman ketertutupan anggaran masa sebelum Jokowi menjabat Gubernur DKI. Waktu itu saya masih menjadi direktur di Perkumpulan Prakarsa, kami diminta membantu Jokowi/Ahok sebagai gubernur/wagub terpilih DKI turut menyisir draf anggaran APBD yang dibuat pemerintahan sebelumnya.

Secara pro bono alias sukarela, kami diminta memelototi puluhan ribu item usulan program/kegiatan & anggaran yang janggal, markup atau tidak masuk akal. Benar-benar kami dibuat geleng2 kepala dengan penggunaan dana sekitar 40-an triliun waktu itu, yang mencakup sekitar 60-an ribu item.

Karena kejadian sudah cukup lama tahun 2012/2013, saya tidak terlalu ingat secara detail. Namun ada beberapa hal yang benar2 saya ingat, ada anggaran untuk membantu beberapa turnamen golf. Nilai bantuan tiap turnamen golf tidak kira2 sampai milyaran rupiah. Lalu, pengadaan untuk seragam nilainya juga beberapa miliar. Renovasi sebuah gedung pemerintahan nilainya juga puluhan miliar, belum lagi pengadaan mobil dinas. Ah Maftuchan yang sekarang jadi direktur Perkumpulan PRAKARSA mungkin lebih paham detailnya, karena yang memelototi draf anggaran dari hari-kehari.

Dari apa yang saya perhatikan anggaran waktu itu, saya tidak bisa melihat arah yang jelas akan kemana DKI dibawa. Puluhan ribu item anggaran seakan2 tinggal dimasuk-masukkan saja berdasarkan “wangsit”. Lalu khusus anggaran bantuan turnamen2 golf yang nilainya miliaran, sangat jelas terlihat modusnya. Bantuan diberikan untuk turnamen, namun pemberi bantuan akan dapat persenan yang sangat besar untuk jadi bancakan para oknum pemerintah.

Anggaran yang diketok palu telah berubah drastis karena pembersihan besar-besaran. Yang ekstrem, Ahok waktu itu yang menjadi wakil gubernur mengambil tindakan “kejam”. Anggaran proyek PU (pekerjaan umum) dipotong 25 atau 30 persen, namun diminta hasilnya tetap sama. Bisa dilihat di akun youtube pemprov DKI (saya tidak tahu sekarang, apakah masih atau sudah di-takedown pemprov DKI), Ahok bersuara keras dalam rapat waktu itu, yang tidak sanggup pejabat PU untuk segera mundur. Tidak ada pejabat PU DKI yang mundur.

Menurut perkiraan kami, markup proyek PU lebih dari 25/30 persen jadi proyek akan masih bisa berjalan dengan output yang baik, asal proyek dibersihkan dari penjatahan oknum2. Pengamatan saya selama pemerintahan DKI 2012-2017, anggaran PU yang dipotong signifikan atau anggaran2 lain dibersihkan tetap membuat berbagai proyek infrastruktur tetap berjalan baik, bahkan kebersihan sungai2 atau infrastruktur justru jauh lebih kinclong.

Tampaknya, waktu itu Jokowi/Ahok lalu bertekat membangun sistem agar penganggaran lebih terbuka dilihat oleh publik. Tak ada cara lain, sistem penganggaran lalu dibuat dengan elektronik (e-budgeting) dan terbuka untuk diakses publik. Artinya, setiap mata masyarakat bisa memelototi angaran DKI, kemana uang pajak yang mereka bayarkan dipakai pemerintah atau dianggarkan. Ini akan membuat markup atau penyelewengan anggaran bisa diantisipasi.

Ada yang telah kena batunya dengan sistem e-bugdeting, yaitu kasus penyusupan anggaran pengadaan UPS (power supply) senilai 6 miliar untuk satu sekolah. Jelas ini tidak masuk akal, mana ada sekolah yang pakai UPS senilai 6 mobil mercy baru. Beberapa anggota DPRD DKI, pejabat DKI & swasta bolak-balik diperiksa waktu itu, untuk memeriksa kongkalikong. Pejabat DKI lalu divonis 6 tahun. Namun saya agak heran, modus penyusupan anggaran berdasar berita yang saya ikuti tampaknya berasal dari satu komisi di DPRD DKI. Saya tidak terlalu mengikuti, apakah akhirnya ada anggota DPRD yang masuk bui juga setelah itu. Kalo melihat modusnya, mereka seharusnya justru yang kena duluan.

Kasus lem Aibon tampaknya justru menjadi titik balik transparansi anggaran publik. Dari berita yang saya ikuti, gubernur Anies justru menyalahkan sistem e-budgeting. Akses publik pada draf anggaran DKI juga sudah tidak bisa lagi. Kini pembahasan anggaran sudah tertutup lagi. Gelap gulita. Mata publik tidak bisa lagi memelototi anggaran. Apakah ada transaksi di belakang, markup atau ada penyelewengan anggaran, kita sudah tidak bisa antisipasi lagi. Di abad disrupsi teknologi ini, kini kita justru kembali ke jaman kegelapan.

Saya heran kenapa e-budgeting yang disalahkan. Jumlah anggaran yang keluar adalah penjumlahan antara banyaknya barang dikalikan harga per satuan, sesederhana itu. Apa yang salah? Bila tidak ditemukan, jelas ini akan sah jadi anggaran. Bukankah kita seharusnya bersyukur anggaran yang tidak masuk akal dihapuskan? Bukankah anggaran justru bisa dialihkan ke hal-hal yang lebih produktif?

Saya juga berharap gubernur Anies tetap membuka akses pada draf anggaran DKI, agar bisa dipelototi oleh publik. Masyarakat (terutama DKI) tentu berkepentingan, untuk apa uang pajak mereka dibelanjakan. Lebih dari itu, saya juga sangat berharap gubernur Anies membuka penggunaan dana operasionalnya untuk apa saja seperti ini http://ahok.org/wp-content/uploads/2015/03/Lap-Dana-Penunjang-BTP-Jan-Des-2014.pdf. Bahkan, gubernur sebelumnya juga telah mengembalikan tunjangan operasionalnya hampir 5 miliar pada negara http://ahok.org/tentang-ahok/kenapa-ahok/laporan-pengembalian-sisa-tunjangan-operasional/. Ini pasti akan sangat luar biasa, bila dilakukan lagi oleh gubernur DKI saat ini.

Saya sangat berharap, apa yang sudah baik di masa lalu perlu kita teruskan. Jangan kita justru kembali lagi ke jaman gelap. Pemerintahan yang tertutup, gelap gulita dan masyarakat hanya jadi penonton, seharusnya sudah kita tinggalkan jauh-jauh. Tapi kok ini arahnya malah berbalik lagi, kita justru mundur jauh....😞😞😞

FB: Setyo Budiantoro

No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post