Latest News

Tuesday, 15 October 2019

KISAH RINI, PELAKU BOM BUNUH DIRI



Rini adalah seorang Polwan..

Ia masuk menjadi anggota polisi dengan semua pemahaman tentang Pancasila dan keinginan membela tanah air.

Sesudah bertugas beberapa tahun, ia tertarik belajar agama. Maka ia datang ke sebuah masjid dan bertanya-tanya. Lalu ikutlah dia ke sebuah pengajian. Dari pengajian itu Rini berubah. Di rumah, Rini memakai cadar sesudah mengganti seragam polisinya.

Sesudah bercerai dengan suaminya, Rini semakin aktif ke pengajian. Ia lalu dimasukkan ke grup2 WA dan Telegram untuk mengikuti kajian. Jaringan Rini semakin luas. Posisinya sebagai abdi negara menarik perhatian beberapa orang untuk menariknya "lebih dalam".

Rini dihubungi lewat private message oleh seseorang bernama, sebut saja Kumbang. Si Kumbang ini mengaku sebagai duda yang mencari istri. Perkenalan berlanjut dan si Kumbang mengajak Rini lari dari rumah dan memulai hidup baru bersamanya.

Mereka kemudian dinikahkah secara siri oleh seorang "ustad". Sejak itu, Rini tidak pernah lagi datang ke kantor dan memenuhi tugasnya. Semua komunikasi diputus dan hape dibuang.

Bersama suami siri yang baru dikenalnya, Rini kemudian disiapkan menjadi "pengantin" bunuh diri. Rini dipersiapkan untuk sebuah misi dengan janji akan masuk ke surga jika berhasil mengorbankan banyak nyawa. Terutama nyawa para petugas Polisi.

Tetapi kepolisian berhasil mencium jejak Rini. Ia kemudian diburu oleh pasukan khusus dan ditangkap dalam kondisi sudah siap secara mental untuk berangkat.

Rini hanya membutuhkan waktu kurang dari setahun mulai ingin belajar Islam sampai siap menjadi bom manusia.

Mengerikan ?

Jelas. Betapa mudahnya seseorang dari yang awalnya punya tekad untuk membela negara menjadi musuh negara. Ini karena kosongnya pengetahuan agama secara hakikat dan sibuk belajar ritual sehingga otaknya mudah dicuci.

Dan yang lebih mengerikan, disekitar kita banyak Rini Rini lainnya yang kerja di TNI, di BUMN, sebagai ASN. Itu belum terhitung yang kerja di sektor swasta atau yang mengundurkan diri dari Bank tempatnya dulu bekerja karena cuci otak bahwa ia melakukan riba.

Radikalisme di negeri ini sudah berada pada zona merah karena longgarnya pengawasan dan gamangnya pimpinan bertindak karena takut berbenturan dengan "agama". Atau mungkin pimpinan tempat ia bekerjalah salah satu anggota jaringan.

Radikalisme di Indonesia sudah harus dmasukkan sebagai "kejahatan luar biasa". Harus ada perhatian khusus dan team khusus juga komitmen kuat untuk memberantasnya.

Dimulai dari screening ditubuh aparat dan pegawai pemerintah. Harus dibuat payung hukum supaya mudah menjalankannya. Dan disini pemerintah dan DPR punya tanggung jawab besar untuk memikirkannya.

Apa harus tunggu "bom Bali" kembali meledak karena kita masih ragu dan lunak ? Apa menunggu seorang pejabat terluka baru kita sibuk mencerca ?

Semua peristiwa pasti ada pembelajaran di dalamnya. Kecuali kita tidak mau belajar dan rela menjadi bodoh sampai muncul korban-korban jiwa.

Seruput kopinya..

Denny Siregar

No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post