Demokrasi di Indonesia telah dinodai oleh kerusuhan pada beberapa waktu lalu yang menewaskan 8 orang dan ratusan lainnya terluka. Dalang di balik kerusuhan ini pun masih terus diselidiki. Dan seiring sisa-sisa kerusuhan pada Aksi 22 Mei lalu mulai mereda, berikut beberapa poin mengenai aspek utama yang akan membentuk masa depan Indonesia pasca-pemilu.
Oleh: Erin Cook (The Diplomat)
Aksi 22 Mei lalu di Jakarta menyusul diumumkannya hasil resmi Pilpres 2019, telah membayangi proses pemilu yang seharusnya damai dan produktif. Demonstrasi selama dua hari yang menewaskan delapan orang dan ratusan lainnya luka-luka ini membuat khawatir komunitas bisnis, dan memicu kembali ketakutan akan kekerasan etnis yang menargetkan minoritas Tionghoa-Indonesia.
Dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi akan disidangkan dalam beberapa minggu mendatang, baik pemerintah maupun oposisi telah menyerukan ketenangan. Investigasi terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran pun terus berlanjut.
Seiring kita melangkah ke fase berikutnya, berikut adalah beberapa pemikiran awal tentang Aksi 22 Mei serta bagaimana itu bisa menjadi faktor dalam perkembangan masa depan Indonesia pasca-pemilu.
AKSI 22 MEI TIDAK SEPERTI 1998
Tidak mengherankan, kerusuhan di Jakarta mau tidak mau menimbulkan perbandingan dengan tahun 1998, ketika terjadinya protes penggulingan Presiden Soeharto dan mengantarkan demokrasi di negara Asia Tenggara ini.
Sebagian besar, perbandingan seperti itu tidak bertahan lama, karena skala peristiwa terbaru ini hampir tidak mendekati apa yang kita lihat pada tahun 1998.
Tentu saja, perbedaan yang mencolok adalah bahwa kali ini pemilunya terselenggara secara demokratis, dan negara serta mayoritas masyarakat yang memberikan suara tampaknya berada di pihak yang sama.
Namun, perlu diperhatikan pula kegelisahan di kalangan masyarakat muda Indonesia terhadap pemain kunci yang sama—Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Keamanan Wiranto—yang bermanuver untuk mendapatkan kekuasaan selama 21 tahun.
Periode Reformasi telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi yang paling vital bagi tatanan dunia. Dan ini harus dilanjutkan.
MENGEVALUASI PENGUMUMAN DINI
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengumumkan kemenangan resmi Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pada mulanya disebut-sebut sebagai langkah yang cerdas. Walau tenggat waktu pengumuman ditetapkan pada 22 Mei, namun pengumuman dini pada 21 Mei dipandang sebagai cara untuk meredam protes yang direncanakan untuk hari berikutnya.
Jika dilihat-lihat, ini adalah pemikiran yang pendek. Kebingungan mengenai pengumuman dini itu dijadikan konspirasi bahwa KPU dan pemerintah bersekongkol untuk merugikan pihak oposisi.
Walau KPU dan pengamat lainnya memiliki alasan dalam mempertahankan bahwa apa yang dilakukannya tidak salah, namun dengan begitu banyaknya yang dipertaruhkan, mengevaluasi kembali apakah keputusan itu merupakan langkah yang cerdas adalah sesuatu yang tepat.
Pengumuman hasil pemilu seharusnya tidak ditahan karena takut akan reaksi pemilih yang tidak senang, tetapi pengumuman hasil pemilu juga mungkin memicu kekerasan pada malam sebelum rencana demonstrasi.
Karenanya, aparat negara benar-benar mengantisipasi hal ini dan banyak petugas yang dikerahkan. Namun, pengumuman tengah malam itu mungkin bisa membatasi protes yang memanas menjadi hanya satu hari saja.
PROSPEK SURAM GUGATAN DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Seperti yang diharapkan, kandidat yang kalah telah mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (24/5) malam.
“Lima puluh satu lembar bukti terdiri dari beberapa dokumen dan kesaksian. Ada saksi fakta dan saksi ahli,” kata pengacara utama Bambang Widjojanto kepada media, pada Jumat (24/5) malam.
Bukti ini hampir pasti kurang kuat untuk memenuhi apa yang dibutuhkan untuk membalikkan kekalahan. Pengguggat akan diminta untuk menghasilkan bukti bahwa setidaknya setengah dari suara dalam margin diperoleh secara curang oleh kandidat yang menang atau terdapat kesalahan KPU.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, mengatakan kepada Tempo bahwa gugatan itu “membutuhkan keajaiban.”
Menulis di Indonesia at Melbourne, Dave McRae menjabarkan alasan mengapa gugatan ini pasti akan kalah. Dengan selisih 17 juta suara antara pemenang dan oposisi, klaim skema kecurangan massal yang entah bagaimana terjadi di seluruh negeri tanpa diketahui oleh siapa pun adalah konyol. Begitu pula tuduhan konspirasi besar-besaran antara tempat-tempat pemungutan suara dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Yang terpenting, McRae mencatat, persepsi publik terhadap kepercayaan terhadap lembaga pemilu tetap tinggi.
KESEMPATAN BERFOTO UNTUK ANIES BASWEDAN
Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang berada di luar kota pada saat terjadi kerusuhan, kemudian kembali ke Jakarta setelah rencana kunjungan ke Jepang pada Rabu (22/5) pagi. Kepemimpinannya atas ibu kota setelah memenangkan pemilihan umum tahun 2016—yang memanas dan membuat pendahulunya Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama kalah dan dipenjara karena penistaan agama—telah mendapat penilaian yang beragam.
Responsnya terhadap kerusuhan telah banyak dikritik. Kesempatan berfoto selama kegiatan pembersihan oleh Pasukan Oranye dan petugas pemadam kebakaran, dinodai dengan rekaman yang memperlihatkan Anies yang dielu-elukan oleh para demonstran.
Kerumunan berseru, “Anies 2024!” yang menyoroti posisi sulit gubernur itu, mengingat banyak dari kelompok-kelompok ini mendukungnya dan Sandiaga Uno untuk memenangkan Pilgub Jakarta 2017.
BAGAIMANA MASA DEPAN SANDIAGA UNO?
Calon wakil presiden Sandiaga Uno mendapati dirinya berada di posisi yang sulit. Secara transparan menggunakan kampanye 2019 untuk kemungkinan pencalonan tahun 2024, ia sekarang berisiko menjauhkan dirinya dari para pemilih Jokowi-Amin, yang berpotensi mendukungnya jika sudah tak berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Jika ia bergerak untuk memadamkan kekhawatiran itu, ia berisiko kehilangan pendukungnya di Jakarta yang membawanya ke Balai Kota sebagai Wakil Gubernur.
Aksi politik Sandiaga Uno sejauh ini sangat mengagumkan. Tapi apa yang akan dia lakukan selanjutnya masih belum jelas. Dia telah berkomitmen untuk menggugat di pengadilan, tetapi ia sempat banyak dibicarakan sesaat setelah pemungutan suara bahwa ia berusaha menjauhi tim kampanyenya.
Pintu masih sedikit terbuka baginya untuk kembali pada jabatan Wakil Gubernur Jakarta yang belum terisi, tetapi ia tampaknya tidak mungkin melakukannya. Dengan koalisi yang begitu cair dalam politik Indonesia, gagasan Sandiaga Uno bergabung dengan pemerintah dalam kapasitas tertentu telah diperkirakan, tetapi itu belum akan terjadi sampai setelah proses gugatan di MK selesai.
Keterangan foto utama: Kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo dan cawapres Ma’ruf Amin menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya bersama capres oposisi Prabowo Subianto dan cawapres Sandiaga Uno sebelum debat pilpres putaran terakhir di Jakarta, Sabtu, 13 April 2019. (Foto: Reuters)
https://politikandalan.blogspot.com/2019/06/setelah-aksi-22-mei-5-prospek-indonesia.htmlSource :
https://www.matamatapolitik.com/listicle-analisis-5-prospek-pasca-pemilu-setelah-kerusuhan-dan-aksi-22-mei/
https://politikandalan.blogspot.com/2019/06/setelah-aksi-22-mei-5-prospek-indonesia.htmlSource :
https://www.matamatapolitik.com/listicle-analisis-5-prospek-pasca-pemilu-setelah-kerusuhan-dan-aksi-22-mei/
No comments:
Post a Comment