Umat Islam adalah mayoritas di Nusantara ini,
maka segala sesuatu berkaitan dengan Islam, seperti
ulama maka akan menarik perhatian dan akan
menjadi komoditas politik bagi sekelompok orang
yang mengatasnamakan Islam. Berbagai isu pun
dilontarkan demi kepentingan politik, seperti isu
berstempel ‘Kriminalisasi Ulama’.
...
Hingga saat ini, pemberitaan di media daring masih
didominasi oleh frase kriminalisasi ulama. Adalah
kalangan Islam yang terlibat, baik langsung maupun
tidak, dalam demo berjilid-jilid yang sangat masif
mengampanyekan frase tersebut. Terlebih ketika
kasus Ustad Zulkifli Muhammad Ali mencuat di dunia
maya, pada Januari 2018 silam.
Zulkifli ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian,
pada 18 Januari 2018, dengan tudingan menyebarkan
ujaran kebencian. Beberapa kalangan menilai ceramah
beliau tidak menunjukkan dakwah Islam yang
mengajak dalam kebaikan, namun memprovokasi
umat untuk membenci yang berbeda keyakinan, suku,
dan ras.
Dalam konteks Indonesia, tentu ceramah seperti ini
sangatlah bermasalah. Bagaimana tidak, para tokoh
pendiri bangsa telah jauh-jauh hari bersepakat untuk
menyatukan perbedaan dan keragamaan yang ada di
nusantara melalui konsensus ideologi Pancasila.
Ceramah yang disampaikan Ustad Zulkifli, sejatinya
memang patut untuk dikritik, bahkan dibawa ke pihak
yang berwajib. Pasalnya, sebagai seorang da’i yang
diidolakan umatnya, sikap beliau tentunya akan diikuti
dan ‘diamini’ mereka dalam keseharian. Hal ini akan
menjadi lebih pelik, mengingat tensi politik dan agama
di Indonesia saat ini betul-betul memanas.
Persoalan pun semakin keruh, karena sikap berlebihan
pengikutnya. Ini jelas terlihat karena selalu dikaitkan
dengan frase ‘kriminalisasi’ yang terus mereka
kampanyekan di berbagai media sosial, bahkan di
media-media nasional.
Bisa jadi karena memang ada tujuan politik di balik
kampanye frase ‘kriminalisasi ulama’ tersebut? Secara
tidak langsung, frase ini telah membangun populisme
Islam dalam melawan pemerintahan yang sah.
Menurut Prof. Azyumardi Azra, populisme Islam biasa
digunakan sebagai alat melawan pemerintah yang
sah oleh para pemuka agama (Islam). Contoh nyatanya
adalah revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah
Khomeini tahun 1979 yang lalu.
Karena itu, tak berlebihan jika frase kriminalisasi
ulama ini dilihat sebagai sebuah ancaman bagi
keutuhan negara-bangsa seperti Indonesia. Menurut
Prof. Sumanto Al Qurtuby, kata kriminalisasi ulama
memberi makna ambigu bagi masyarakat, seolah-
olah kepolisian telah bersalah dalam memanggil
seorang da’i untuk sekadar dimintai keterangan atas
apa yang telah ia lakukan.
Logika hukumnya, kepolisian tidak akan memanggil
seseorang untuk dimintai keterangan jika tidak
mempunyai bukti dari suatu peristiwa. Lihat saja,
dalam ceramahnya Ustadz Zulkifli Muhammad Ali
yang oleh pengikutnya akrab disebut Uzma itu
mengatakan, bahwa pada tahun 2018 nanti akan
banyak kaum muslimin Indonesia, yang akan dibuang
ke laut dan disembelih oleh kaum Komunis, China,
Syiah dan Liberal.
Tahun depan, lanjut Uzma, Indonesia akan menjadi
negara komunis dan jumlah masyarakat China yang
akan dimasukkan ke negara ini akan mencapai ratusan
juta orang, sehingga orang Indonesia semua akan
diperbudak dan TNI Polri akan disikat habis.
Selain itu, masih dalam ceramahnya, Uzma juga
terang-terangan memprovokasi umat Islam untuk
berani melawan pemerintahan yang sah saat ini hingga
mati. Hal itu, dilakukan dengan iming-iming jika mati
mereka adalah syahid.
Apa yang disampaikan oleh Uzma, jelas dapat merusak
harmonisasi antar masyarakat di Indonesia dan
mempertajam konflik sosial dengan sentimen SARA,
khususnya berbasis isu agama. Hal ini sangat
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Parahnya lagi, Uzma ini dalam ceramahnya yang
provokatif tersebut selalu mencatut institusi negara.
Misalnya, Ia mengaku sebagai ustadz di Mabes Polri,
TNI, dan BIN. Hal itu tentu merupakan sebuah
kebohongan dan informasi yang tidak tepat.
Nah ujaran kebencian yang berbau SARA itulah,
menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri
Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal
mengatakan, Zulkifli ditetapkan sebagai tersangka
karena, kepolisian sudah memiliki syarat untuk
menetapkannya sebagai tersangka.
"Jelas kalau misalnya seseorang ditetapkan tersangka
minimal dua alat bukti. Dua alat bukti masuk dalam
melakukan atau masuk dalam unsur tindak pidana
bahwa itu melanggar beberapa aturan hukum," kata
Iqbal.
Iqbal menyebutkan, salah satu bukti yang menjadi
penguat adalah sebuah video ceramah oleh Zulkifli
Muhammad. Menurut Iqbal, dalam video itu, Zulkifli
mengemukakan hal-hal yang bersifat opini tapi tidak
berdasarkan fakta. Muatannya pun mengandung
unsur penyebaran rasa takut, serta kebencian.
"Ini sudah beropini, berasumsi, menggiringi bahwa
ada seolah-olah serangan masif untuk menyerang
negara dan lain lain. Nah sekarang faktanya mana?
Bahwa penyidik mendapatkan fakta dia melanggar,"
kata Iqbal.
Karena itulah, ia diduga melakukan tindak pidana
dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa
benci kepada orang lain berdasarkan dikriminasi ras
dan etnis (SARA), dan atau dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu atau kelompok masyarakat tertentu.
Dengan pelanggaran tersebut, Zulkifli diduga talah
melanggar Pasal 16 juncto Pasal 4 Huruf b UU RI
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Panghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis. Atau Pasal 45A Ayat 2
juncto Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kasus ini, menurut mantan Kapolrestabes Surabaya
ini, bahkan tidak perlu pelapor. Dengan kata lain
bukan delik aduan. Pasalnya kasus ini merupakan
model A, di mana saat Siber patrol menjumpai video
tersebut, maka kepolisian dapat melakukan pelaporan
sendiri.
Alasannya, dikhawatirkan ucapan Zulkifli dapat
memicu ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.
"Yang mendengar, terpovokasi, kasihan masyarakat
jadi ketakutan, padahal hoaks," tutur Iqbal.
Jadi, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian
menegaskan, kasus yang menjerat Uzma bukan
kriminalisasi ulama. Zulkifli ditetapkan sebagai
tersangka kasus ujaran kebencian dan diskriminasi
SARA. "Prinsipnya sekali lagi, Polri tidak ingin
melakukan kriminalisasi terhadap
ulama," ujar Tito.
Tito mencontohkan, jika seseorang
dipidana padahal tidak melakukan
tindak kejahatan barulah itu bisa disebut
kriminalisasi. Namun, jika seseorang
melakukan pelanggaran dan polisi
memprosesnya itu adalah bentuk
penegakan hukum. "Kenapa dilakukan
itu? Karena adanya ceramah yang viral
yang di dalamnya ada konten yang patut
dipertanyakan. Contoh, katanya 200 juta
KTP dibuat di Paris, 200 juta sudah
dibuat di Tiongkok," ucap dia.
Karena itu, Tito menilai, klaim
kriminalisasi ulama yang ditujukan
kepada Polri dan ujungnya kepada
Presiden Jokowi, merupakan upaya
ofensif yang dilakukan oleh sekelompok
pihak terhadap upaya Polri dalam menegakkan
hukum. Ia menambahkan, kriminalisasi berarti
mengada-adakan sebuah perkara tanpa adanya aturan
dan fakta yang mengikatnya.
Dalam setiap upaya penegakan hukum, Tito
menegaskan, Polri selalu berpegang pada aturan dan
fakta yang ada. "Nah, kalau kita lihat yang dikatakan
kriminalisasi ulama tadi, kita lihat perbuatannya. Ada
yang dikenakan pasal makar, pasal pornografi, pasal
makar apakah ada faktanya. Ya, faktanya ada. Ada
rapatnya. Upaya untuk menggulingkan pemerintah
yang sah,” ujar Tito.
Begitu pula tuduhan kriminalisasi ulama dalam kasus
pornografi. Tito mengatakan, ada fakta dan aturan
yang mengikat terkait hal tersebut. Tito menyatakan,
dalam kasus tersebut, Polri telah meminta ahli
teknologi informasi dan antropometri tubuh untuk
menganalisis keaslian dan kecocokan gambar dan
hasilnya disebut cocok dengan tersangka.
Terkait aturan, ia mengatakan, pasal pornografi tidak
harus menunggu materi pornografi tersebar ke publik.
Ia menuturkan, pihak pengirim dan penerima bisa
langsung dijerat dengan pasal tersebut tanpa harus
menunggu materinya viral.
Berbeda dengan Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang mengharuskan materinya
viral. “Sekarang terminologi ulama. Kalau pendapat
saya ini hanya digunakan untuk membuat image
sedemikian rupa bahwa polisi dianggap main hakim
sendiri atau katakanlah menggunakan politik hukum,”
ujar mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme itu.
“Saya mengatakan bahwa kita berlakukan asas
equality before the law. Persamaan di hadapan hukum.
Tanpa memandang status sosial, laki-laki atau
perempuan, pangkat atau jabatan,” lanjut Tito.
Munculnya Istilah Kriminalisasi Ulama
Kasus Uzma atau Ustad Zulkifli, hanya satu contoh
dari tudingan kriminalisasi ulama yang disematkan
kepada Presiden Jokowi. Kasus besarnya, justru
muncul setelah tokoh Front Pembela Islam (FPI)
ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Sejak
itu, termasuk kasus Uzma yang dijerat hukum karena
menyebar kebencian terkait SARA, lalu ulama-ulama
lain seperti yang tercantum, paling tidak dalam sebuah
pamflet “Presidium 212’ bela ulama dan aktivis, pada
Mei 2017 silam, sejumlah nama ulama pun
dicantumkan di pamflet tersebut sebagai korban yang
mereka sebut ‘kriminalisasi ulama’.
Ada sekitar 20 nama yang dicantumkan di situ. Tapi
setelah ditilik satu persatu, paling tidak yang
diklasifikasikan sebagai ulama hanya 4 orang; Habib
Muhammad Rizieq Syihab, Ustadz Bachtiar Nasir,
Ustadz Muhammad Gatot Saptono alias Ustadz Al-
Khattath, dan Ustadz Adnim Arnas. Selebihnya adalah
aktivis yang menunggangi Islam untuk kepentingan
kelompoknya yang kontra pemerintahan Presiden
Jokowi, seperti Sri Bintang Pamungkas, Hj Diah
Pramana Sukmawati Sukarno, Buni Yani, Munarman
dan Brigjen TNI (Purn) Adityawarman Thaha.
Nah, untuk nama-nama yang disebut ‘kriminalisasi
ulama’, kita lihat satu persatu kasusnya seperti apa,
dan benarkah mereka dikriminalisasi?
Habib Rizieq
Agustus 2003: Rizieq divonis 7 bulan penjara karena
terbukti menghasut, melawan aparat keamanan, dan
memerintahkan merusak sejumlah tempat hiburan
di Ibu Kota.
Oktober 2008: Rizieq divonis 1 tahun 6 bulan karena
terbukti secara sah menganjurkan untuk melakukan
kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum
secara bersama-sama.
Seperti diketahui, tahun 2003, masih era
kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Tahun 2008,
era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Jadi kalau tahun ini Rizieq kembali mendekam di
penjara, itu bukan karena pemerintah yang sekarang
anti Islam, atau melakukan kriminalisasi ulama.
Dengan begitu, sebenarnya Rizieq belum berubah
sejak 2003 lalu. Ia, menurut sumber, kerap mengajak
melakukan perusakan, kekerasan dan menjadi
provokator.
Meski begitu, hingga saat ini Rizieq sudah 12 kali
dilaporkan, dengan 7 kasus hukum dan 2 kasus di
antaranya membuat Rizieq ditetapkan sebagai
tersangka. 7 kasus hukum tersebut; Pelecehan
terhadap adat dan budaya; campuracun; penghinaan
Pancasila: Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat
(jadi tersangka); Penistaan agama: Kalau Tuhan
beranak, bidannya siapa?
Kemudian, fitnah Palu Arit dalam uang rupiah yang
baru; Kasus SARA: Di Jakarta Kapolda mengancam
akan mendorong Gubernur BI untuk melaporkan
Habib Rizieq. Pangkat jenderal otak hansip. Sejak
kapan jenderal bela palu arit, jangan-jangan ini
jenderal nggak lulus litsus. Lalu kasus chat mesum
dengan Firza (jadi tersangka). Serta, kasus SARA:
Akan mengembalikan orang luar Bali
untuk dikembalikan ke Bali dan akan
membakar tempat ibadah umat
Hindu.
Bactiar Nasir
Penyidik Badan Reserse Kriminal
Polri menetapkan seorang pria
bernama Islah Akbar sebagai
tersangka dalam kasus dugaan
penyimpangan dana Yayasan
Keadilan untuk Semua (KuS).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat
Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal
Rikwanto mengatakan, Islahudin
adalah rekan Ketua Gerakan
Nasional Pengawal Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (GNPF MUI)
Bachtiar Nasir yang berprofesi
sebagai pegawai bank. "Iya
(tersangka)," kata Rikwanto saat itu.
Menurut Rikwanto, Islah ditetapkan sebagai tersangka
lantaran menjadi sosok yang mencairkan uang yang
ada di dalam rekening Yayasan Keadilan untuk Semua.
Rikwanto mengatakan, langkah yang dilakukan
Islahudin berdasarkan perintah dari Bachtiar. Namun
saat ditanya terkait alasan polisi belum menetapkan
Bachtiar sebagai tersangka, Rikwanto menolak
menjelaskan.
Ia mengatakan, Islahudin dijerat dengan Pasal 3 dan
Pasal 5 dan atau Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang dan atau Pasal 70 UU Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan Juncto Pasal 5 UU
Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 55 ayat
1 ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara
maksimal 20 tahun.
Dengan kata lain, hingga kini Polisi tidak menetapkan
Bachtiar Nasir sebagai tersangka. Ia hanya diperiksa
sebagai saksi untuk kepentingan pemeriksaan
Islahuddin. Nah, apakah untuk kepentingan
pemeriksaan polisi juga disiebut ‘kriminalisasi ulama’.
Sungguh naif, jika segala sesuatu untuk pemeriksaan
hukum dicap ‘kriminalisasi ulama’. Apalagi jika istilah
kriminalisasi itu untuk sesuatu yang tidak diproses
secara hukum.
Adnim Arnas
Buntut dari pengusutan kasus pencucian uang Yayasan
Keadilan Untuk Semua, membuat seorang pegawai
Bank BNI, Islah, juga menyeret Ketua Yayasan KuS
Adnim Arnas juga diperiksa polisi sebagai saksi.
"Orang yang memberikan kuasa masih dalam proses,"
kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) yang
saat itu masih dipegang oleh Komjen Ari Dono
Sukmanto.
Pemberi kuasa dimaksud, tak lain adalah Adnim
Arnas."Jadi Arnas juga kami mintai keterangan karena
dialah yang beri kuasa. Sebagai ketua yayasan,
seharusnya Arnas menggunakan uang yayasan untuk
kepentingan yayasan," tutur Ari saat itu.
Berdasarkan informasi, penyidikan kasus pencucian
uang bermula dari seruan donasi yang diduga digagas
GNPF MUI. Karena tidak ingin tanpa
pertanggungjawaban dan tidak memiliki rekening,
lantas GNPF MUI menjalin kerjas sama dengan
yayasan tersebut.
Penggalangan dana diketahui untuk kegiatan aksi
Bela Islam 411 dan 212. Belakangan, melalui
pemberitaan sebuah media online, Sekjen DPD FPI
Jakarta, Novel Chaidir Hasan Bamukmin membantah
adanya seruan penggalangan dana ini.
Dari informsi inilah kemudian polisi memulai
penyelidikan. Setelah menggandeng PPATK, polisi
langsung menemui adanya tindak pidana atas kasus
pencucian uang Yayasan.
Muhammad Gatot Saptono alias Ustadz Al-Khaththath
Sekjen Forum Ulama Indonesia (FUI) Muhammad
Al-Khaththath kini meringkuk di tahanan polisi. Dia
diduga hendak menggulingkan pemerintahan Jokowi-
JK.
Al-Khaththath, yang memiliki nama asli Muhammad
Gatot Saptono, bukan orang baru di panggung
nasional. Dia pernah menjabat Ketum DPP Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) periode 2002-2004. Seperti
yang sudah umum diketahui, HTI menolak demokrasi,
bahkan kerap menggelorakan pendirian khilafah di
Indonesia. Terakhir, organisasi itu dibubarkan secara
hukum oleh pemerintah.
Al-Khaththath tak menduduki masa jabatannya secara
penuh. Isu tak sedap mengiringi pencopotannya dari
kursi Ketum HTI. Setelah tak lagi menjabat Ketum
HTI, Al-Khaththath masuk parpol, bahkan maju
sebagai caleg dari Partai Bulan Bintang (PBB). Namun
dia kalah bertarung di dapil DKI Jakarta III dan gagal
duduk menjadi wakil rakyat di Senayan.
Pria kelahiran 12 Juni 1964 itu, juga pernah aktif di
MUI. Sejak 2005 hingga 2010, Al-Khaththath aktif
sebagai pengurus Komisi Dakwah MUI. Terakhir Al-
Khaththath hanya aktif di FUI, organisasi yang pernah
menelurkan wacana NKRI Bersyariah bersama FPI.
Tujuan wacana itu adalah menerapkan hukum Islam
di Indonesia.
Bersama FUI pula Al-Khaththath menggalang
kekuatan massa Islam meneruskan aksi-aksi
demonstrasi menuntut hukuman bagi Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok), terdakwa penista agama. Al-
Khaththath kembali menggalang kekuatan setelah
sejumlah tokoh 411 dan 212 dijerat kasus hukum.
Kini Al-Khaththath sendiri yang terjerat kasus hukum.
Dia diduga terlibat dalam pemufakatan makar untuk
menggulingkan pemerintahan yang sah. Sebelum
kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan, Al-Khaththath
sempat ditangguhkan penahanannya.
Pada Juni 2017, polisi melimpahkan berkas perkara
makar Al Khaththath ke kejaksaan. Kabid Humas
Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan,
saat ini pihaknya masih menunggu jaksa peneliti
mengkaji berkas perkara tersebut. Dia berharap agar
JPU segera menyatakan berkas tersebut lengkap agar
segera disidangkan.
Seperti diketahui, bersamaan dengan Al-Khaththath,
polisi juga menangkap ZA, IR, V, dan M. Penangkapan
itu, terkait dugaan pemufakatan makar pada Jumat
(31/3/2017). Kelima orang tersebut disangkakan Pasal
107 KUHP juncto Pasal 110 KUHP tentang
Pemufakatan Makar. Sementara itu, V, dan M juga
dikenai Pasal 16 UU Nomor 40/2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menurut
polisi, V dan M sempat melontarkan perkataan yang
menghina etnis tertentu.
KH Sulaiman Rohimi
Di luar dari nama-nama ulama yang dicantumkan
alumni 212 dalam pamplet bela ulama, adalah KH
Sulaiman Rohimi, yang juga digembar-gemborkan
dikriminalisasi. Sulaiman adalah Ketua Majelis Ulama
Indonesia Kecamatan Jagakarsa, diperiksa Kepolisian
Resort Metro Jakarta Selatan pada Januari 2018, atas
tuduhan menyebar ujaran kebencian yang dilaporkan
oleh Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jakarta Selatan
Sulton Mu'minah.
Kejadian bermula pada saat Sulaiman mengirimkan
meme ke grup WhatsApp MUI Jakarta Selatan pada
November 2017, yang isinya dinilai mendiskreditkan
Ansor dan menyebarkan kebencian.
Isi stikernya (meme) menyebutkan GP Ansor menjaga
gereja mengusir ulama. Kepala Polres Metro Jakarta
Selatan Komisaris Mardiaz Kusin mengatakan, pelapor
menyerahkan screen shoot pesan WhatsApp yang
isinya ujaran kebencian kepada salah satu kelompok.
Polisi pun memeriksa pelapor sebagai saksi dan Ketua
MUI Jagakarsa Sulaiman.
"Tadi sudah kami pertemukan pihak terlapor dan
pelapor. Karena masih satu wadah (Nahdatul Ulama)
sepertinya ingin diselesaikan secara jalur
kekeluargaan," ucapnya.
Sulaiman sendiri berharap masalah ini diselesaikan
secara kekeluargaan. "Saya berharap bisa bersatu dan
tidak ada lagi clash," ucapnya tentang laporan bos
Ansor Jakarta Selatan.
Nah, dari pemaparan para ulama yang disebut-sebut
dikrimanalisasi itu, tak da satupun yang masuk kriteria
‘kriminalisasi ulama’. Semua kasusnya, jelas diperiksa
secara hukum berdasarkan temuan polisi maupun
pengaduan seseorang.
Menurut seorang sumber, harus diakui betapa
kelompok mereka ini sangat cerdas sekali dalam
membangun narasi. Ketika Rizieq terjerat kasus
hukum akibat pernyataan-pertanyataannya yang
provokatif dan SARA, para pengikutnya langsung
menyebut pemerintah melakukan kriminalisasi ulama.
Mengapa mereka memilih kata ulama? sebab ulama
memiliki posisi yang sangat agung dalam agama Islam.
Levelnya di atas ustad dan kyai. Level paling tinggi.
Sehingga dengan menggunakan istilah “kriminalisasi
ulama”, maka secara otomatis akan membakar
semangat jamaahnya. Selain itu juga dapat
mempengaruhi orang-orang awam, yang tidak paham
pokok masalahnya. “ulama mau dipenjara, rezim ini
anti Islam,” begitulah komentar-komentar dari orang
yang tidak tahu apa kasus hukum yang menjerat
Rizieq.
Jadi selebihnya yang dicantumkan di pamflet, adalah
masyarakat sipil biasa yang tidak memiliki embel-
embel ‘ulama’. Mereka hanya merasanya aktivis.
Seperti Buni Yani.
Kasus Buni Yani sendiri, sama sekali murni diperiksa
polisi karena adanya laporan dari Andi Windo
Wahidin kepada polisi, terkait postingan video Ahok
di Kepulauan Seribu. Seperti diketahui, karena
postingan ini, Ahok kini harus mendekam di penjara.
Karena laporan dari Andi Windo inilah, Buni Yani
diperiksa polisi. Selanjutnya, proses hukum pun
berlanjut ke pengadilan. Nah, di Pengadilan Negeri
Bandung, Buni Yani divonis dengan hukuman 1,5
tahun penjara, karena terbukti mengubah video pidato
bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok di Kepulauan Seribu. Majelis hakim
menilai, Buni Yani terbukti melanggar Pasal 32 ayat
1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE).
Itulah sebenarnya yang terjadi pada Buni Yani.
Artinya, tidak benar jika dia dikriminalisasi. Lihat
saja, proses hukumnya jelas, ada laporan atau
pengaduan, kemudian diproses polisi atas pengaduan
itu, lalu dilimpahkan berkas perkaranya ke pengadilan.
Dan pengadilan pun menjatuhkan vonis hukuman.
“Jadi dimana kriteria kriminalisasinya. Kriminalisasi
itu jika seseorang ditahan tanpa pengaduan pidana
dan proses hukum,” kata Syafruddin aktivis PKB.
M Riz
maka segala sesuatu berkaitan dengan Islam, seperti
ulama maka akan menarik perhatian dan akan
menjadi komoditas politik bagi sekelompok orang
yang mengatasnamakan Islam. Berbagai isu pun
dilontarkan demi kepentingan politik, seperti isu
berstempel ‘Kriminalisasi Ulama’.
...
Hingga saat ini, pemberitaan di media daring masih
didominasi oleh frase kriminalisasi ulama. Adalah
kalangan Islam yang terlibat, baik langsung maupun
tidak, dalam demo berjilid-jilid yang sangat masif
mengampanyekan frase tersebut. Terlebih ketika
kasus Ustad Zulkifli Muhammad Ali mencuat di dunia
maya, pada Januari 2018 silam.
Zulkifli ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian,
pada 18 Januari 2018, dengan tudingan menyebarkan
ujaran kebencian. Beberapa kalangan menilai ceramah
beliau tidak menunjukkan dakwah Islam yang
mengajak dalam kebaikan, namun memprovokasi
umat untuk membenci yang berbeda keyakinan, suku,
dan ras.
Dalam konteks Indonesia, tentu ceramah seperti ini
sangatlah bermasalah. Bagaimana tidak, para tokoh
pendiri bangsa telah jauh-jauh hari bersepakat untuk
menyatukan perbedaan dan keragamaan yang ada di
nusantara melalui konsensus ideologi Pancasila.
Ceramah yang disampaikan Ustad Zulkifli, sejatinya
memang patut untuk dikritik, bahkan dibawa ke pihak
yang berwajib. Pasalnya, sebagai seorang da’i yang
diidolakan umatnya, sikap beliau tentunya akan diikuti
dan ‘diamini’ mereka dalam keseharian. Hal ini akan
menjadi lebih pelik, mengingat tensi politik dan agama
di Indonesia saat ini betul-betul memanas.
Persoalan pun semakin keruh, karena sikap berlebihan
pengikutnya. Ini jelas terlihat karena selalu dikaitkan
dengan frase ‘kriminalisasi’ yang terus mereka
kampanyekan di berbagai media sosial, bahkan di
media-media nasional.
Bisa jadi karena memang ada tujuan politik di balik
kampanye frase ‘kriminalisasi ulama’ tersebut? Secara
tidak langsung, frase ini telah membangun populisme
Islam dalam melawan pemerintahan yang sah.
Menurut Prof. Azyumardi Azra, populisme Islam biasa
digunakan sebagai alat melawan pemerintah yang
sah oleh para pemuka agama (Islam). Contoh nyatanya
adalah revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah
Khomeini tahun 1979 yang lalu.
Karena itu, tak berlebihan jika frase kriminalisasi
ulama ini dilihat sebagai sebuah ancaman bagi
keutuhan negara-bangsa seperti Indonesia. Menurut
Prof. Sumanto Al Qurtuby, kata kriminalisasi ulama
memberi makna ambigu bagi masyarakat, seolah-
olah kepolisian telah bersalah dalam memanggil
seorang da’i untuk sekadar dimintai keterangan atas
apa yang telah ia lakukan.
Logika hukumnya, kepolisian tidak akan memanggil
seseorang untuk dimintai keterangan jika tidak
mempunyai bukti dari suatu peristiwa. Lihat saja,
dalam ceramahnya Ustadz Zulkifli Muhammad Ali
yang oleh pengikutnya akrab disebut Uzma itu
mengatakan, bahwa pada tahun 2018 nanti akan
banyak kaum muslimin Indonesia, yang akan dibuang
ke laut dan disembelih oleh kaum Komunis, China,
Syiah dan Liberal.
Tahun depan, lanjut Uzma, Indonesia akan menjadi
negara komunis dan jumlah masyarakat China yang
akan dimasukkan ke negara ini akan mencapai ratusan
juta orang, sehingga orang Indonesia semua akan
diperbudak dan TNI Polri akan disikat habis.
Selain itu, masih dalam ceramahnya, Uzma juga
terang-terangan memprovokasi umat Islam untuk
berani melawan pemerintahan yang sah saat ini hingga
mati. Hal itu, dilakukan dengan iming-iming jika mati
mereka adalah syahid.
Apa yang disampaikan oleh Uzma, jelas dapat merusak
harmonisasi antar masyarakat di Indonesia dan
mempertajam konflik sosial dengan sentimen SARA,
khususnya berbasis isu agama. Hal ini sangat
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Parahnya lagi, Uzma ini dalam ceramahnya yang
provokatif tersebut selalu mencatut institusi negara.
Misalnya, Ia mengaku sebagai ustadz di Mabes Polri,
TNI, dan BIN. Hal itu tentu merupakan sebuah
kebohongan dan informasi yang tidak tepat.
Nah ujaran kebencian yang berbau SARA itulah,
menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri
Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal
mengatakan, Zulkifli ditetapkan sebagai tersangka
karena, kepolisian sudah memiliki syarat untuk
menetapkannya sebagai tersangka.
"Jelas kalau misalnya seseorang ditetapkan tersangka
minimal dua alat bukti. Dua alat bukti masuk dalam
melakukan atau masuk dalam unsur tindak pidana
bahwa itu melanggar beberapa aturan hukum," kata
Iqbal.
Iqbal menyebutkan, salah satu bukti yang menjadi
penguat adalah sebuah video ceramah oleh Zulkifli
Muhammad. Menurut Iqbal, dalam video itu, Zulkifli
mengemukakan hal-hal yang bersifat opini tapi tidak
berdasarkan fakta. Muatannya pun mengandung
unsur penyebaran rasa takut, serta kebencian.
"Ini sudah beropini, berasumsi, menggiringi bahwa
ada seolah-olah serangan masif untuk menyerang
negara dan lain lain. Nah sekarang faktanya mana?
Bahwa penyidik mendapatkan fakta dia melanggar,"
kata Iqbal.
Karena itulah, ia diduga melakukan tindak pidana
dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa
benci kepada orang lain berdasarkan dikriminasi ras
dan etnis (SARA), dan atau dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu atau kelompok masyarakat tertentu.
Dengan pelanggaran tersebut, Zulkifli diduga talah
melanggar Pasal 16 juncto Pasal 4 Huruf b UU RI
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Panghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis. Atau Pasal 45A Ayat 2
juncto Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kasus ini, menurut mantan Kapolrestabes Surabaya
ini, bahkan tidak perlu pelapor. Dengan kata lain
bukan delik aduan. Pasalnya kasus ini merupakan
model A, di mana saat Siber patrol menjumpai video
tersebut, maka kepolisian dapat melakukan pelaporan
sendiri.
Alasannya, dikhawatirkan ucapan Zulkifli dapat
memicu ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.
"Yang mendengar, terpovokasi, kasihan masyarakat
jadi ketakutan, padahal hoaks," tutur Iqbal.
Jadi, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian
menegaskan, kasus yang menjerat Uzma bukan
kriminalisasi ulama. Zulkifli ditetapkan sebagai
tersangka kasus ujaran kebencian dan diskriminasi
SARA. "Prinsipnya sekali lagi, Polri tidak ingin
melakukan kriminalisasi terhadap
ulama," ujar Tito.
Tito mencontohkan, jika seseorang
dipidana padahal tidak melakukan
tindak kejahatan barulah itu bisa disebut
kriminalisasi. Namun, jika seseorang
melakukan pelanggaran dan polisi
memprosesnya itu adalah bentuk
penegakan hukum. "Kenapa dilakukan
itu? Karena adanya ceramah yang viral
yang di dalamnya ada konten yang patut
dipertanyakan. Contoh, katanya 200 juta
KTP dibuat di Paris, 200 juta sudah
dibuat di Tiongkok," ucap dia.
Karena itu, Tito menilai, klaim
kriminalisasi ulama yang ditujukan
kepada Polri dan ujungnya kepada
Presiden Jokowi, merupakan upaya
ofensif yang dilakukan oleh sekelompok
pihak terhadap upaya Polri dalam menegakkan
hukum. Ia menambahkan, kriminalisasi berarti
mengada-adakan sebuah perkara tanpa adanya aturan
dan fakta yang mengikatnya.
Dalam setiap upaya penegakan hukum, Tito
menegaskan, Polri selalu berpegang pada aturan dan
fakta yang ada. "Nah, kalau kita lihat yang dikatakan
kriminalisasi ulama tadi, kita lihat perbuatannya. Ada
yang dikenakan pasal makar, pasal pornografi, pasal
makar apakah ada faktanya. Ya, faktanya ada. Ada
rapatnya. Upaya untuk menggulingkan pemerintah
yang sah,” ujar Tito.
Begitu pula tuduhan kriminalisasi ulama dalam kasus
pornografi. Tito mengatakan, ada fakta dan aturan
yang mengikat terkait hal tersebut. Tito menyatakan,
dalam kasus tersebut, Polri telah meminta ahli
teknologi informasi dan antropometri tubuh untuk
menganalisis keaslian dan kecocokan gambar dan
hasilnya disebut cocok dengan tersangka.
Terkait aturan, ia mengatakan, pasal pornografi tidak
harus menunggu materi pornografi tersebar ke publik.
Ia menuturkan, pihak pengirim dan penerima bisa
langsung dijerat dengan pasal tersebut tanpa harus
menunggu materinya viral.
Berbeda dengan Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang mengharuskan materinya
viral. “Sekarang terminologi ulama. Kalau pendapat
saya ini hanya digunakan untuk membuat image
sedemikian rupa bahwa polisi dianggap main hakim
sendiri atau katakanlah menggunakan politik hukum,”
ujar mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme itu.
“Saya mengatakan bahwa kita berlakukan asas
equality before the law. Persamaan di hadapan hukum.
Tanpa memandang status sosial, laki-laki atau
perempuan, pangkat atau jabatan,” lanjut Tito.
Munculnya Istilah Kriminalisasi Ulama
Kasus Uzma atau Ustad Zulkifli, hanya satu contoh
dari tudingan kriminalisasi ulama yang disematkan
kepada Presiden Jokowi. Kasus besarnya, justru
muncul setelah tokoh Front Pembela Islam (FPI)
ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Sejak
itu, termasuk kasus Uzma yang dijerat hukum karena
menyebar kebencian terkait SARA, lalu ulama-ulama
lain seperti yang tercantum, paling tidak dalam sebuah
pamflet “Presidium 212’ bela ulama dan aktivis, pada
Mei 2017 silam, sejumlah nama ulama pun
dicantumkan di pamflet tersebut sebagai korban yang
mereka sebut ‘kriminalisasi ulama’.
Ada sekitar 20 nama yang dicantumkan di situ. Tapi
setelah ditilik satu persatu, paling tidak yang
diklasifikasikan sebagai ulama hanya 4 orang; Habib
Muhammad Rizieq Syihab, Ustadz Bachtiar Nasir,
Ustadz Muhammad Gatot Saptono alias Ustadz Al-
Khattath, dan Ustadz Adnim Arnas. Selebihnya adalah
aktivis yang menunggangi Islam untuk kepentingan
kelompoknya yang kontra pemerintahan Presiden
Jokowi, seperti Sri Bintang Pamungkas, Hj Diah
Pramana Sukmawati Sukarno, Buni Yani, Munarman
dan Brigjen TNI (Purn) Adityawarman Thaha.
Nah, untuk nama-nama yang disebut ‘kriminalisasi
ulama’, kita lihat satu persatu kasusnya seperti apa,
dan benarkah mereka dikriminalisasi?
Habib Rizieq
Agustus 2003: Rizieq divonis 7 bulan penjara karena
terbukti menghasut, melawan aparat keamanan, dan
memerintahkan merusak sejumlah tempat hiburan
di Ibu Kota.
Oktober 2008: Rizieq divonis 1 tahun 6 bulan karena
terbukti secara sah menganjurkan untuk melakukan
kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum
secara bersama-sama.
Seperti diketahui, tahun 2003, masih era
kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Tahun 2008,
era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Jadi kalau tahun ini Rizieq kembali mendekam di
penjara, itu bukan karena pemerintah yang sekarang
anti Islam, atau melakukan kriminalisasi ulama.
Dengan begitu, sebenarnya Rizieq belum berubah
sejak 2003 lalu. Ia, menurut sumber, kerap mengajak
melakukan perusakan, kekerasan dan menjadi
provokator.
Meski begitu, hingga saat ini Rizieq sudah 12 kali
dilaporkan, dengan 7 kasus hukum dan 2 kasus di
antaranya membuat Rizieq ditetapkan sebagai
tersangka. 7 kasus hukum tersebut; Pelecehan
terhadap adat dan budaya; campuracun; penghinaan
Pancasila: Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat
(jadi tersangka); Penistaan agama: Kalau Tuhan
beranak, bidannya siapa?
Kemudian, fitnah Palu Arit dalam uang rupiah yang
baru; Kasus SARA: Di Jakarta Kapolda mengancam
akan mendorong Gubernur BI untuk melaporkan
Habib Rizieq. Pangkat jenderal otak hansip. Sejak
kapan jenderal bela palu arit, jangan-jangan ini
jenderal nggak lulus litsus. Lalu kasus chat mesum
dengan Firza (jadi tersangka). Serta, kasus SARA:
Akan mengembalikan orang luar Bali
untuk dikembalikan ke Bali dan akan
membakar tempat ibadah umat
Hindu.
Bactiar Nasir
Penyidik Badan Reserse Kriminal
Polri menetapkan seorang pria
bernama Islah Akbar sebagai
tersangka dalam kasus dugaan
penyimpangan dana Yayasan
Keadilan untuk Semua (KuS).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat
Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal
Rikwanto mengatakan, Islahudin
adalah rekan Ketua Gerakan
Nasional Pengawal Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (GNPF MUI)
Bachtiar Nasir yang berprofesi
sebagai pegawai bank. "Iya
(tersangka)," kata Rikwanto saat itu.
Menurut Rikwanto, Islah ditetapkan sebagai tersangka
lantaran menjadi sosok yang mencairkan uang yang
ada di dalam rekening Yayasan Keadilan untuk Semua.
Rikwanto mengatakan, langkah yang dilakukan
Islahudin berdasarkan perintah dari Bachtiar. Namun
saat ditanya terkait alasan polisi belum menetapkan
Bachtiar sebagai tersangka, Rikwanto menolak
menjelaskan.
Ia mengatakan, Islahudin dijerat dengan Pasal 3 dan
Pasal 5 dan atau Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang dan atau Pasal 70 UU Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan Juncto Pasal 5 UU
Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pasal 55 ayat
1 ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara
maksimal 20 tahun.
Dengan kata lain, hingga kini Polisi tidak menetapkan
Bachtiar Nasir sebagai tersangka. Ia hanya diperiksa
sebagai saksi untuk kepentingan pemeriksaan
Islahuddin. Nah, apakah untuk kepentingan
pemeriksaan polisi juga disiebut ‘kriminalisasi ulama’.
Sungguh naif, jika segala sesuatu untuk pemeriksaan
hukum dicap ‘kriminalisasi ulama’. Apalagi jika istilah
kriminalisasi itu untuk sesuatu yang tidak diproses
secara hukum.
Adnim Arnas
Buntut dari pengusutan kasus pencucian uang Yayasan
Keadilan Untuk Semua, membuat seorang pegawai
Bank BNI, Islah, juga menyeret Ketua Yayasan KuS
Adnim Arnas juga diperiksa polisi sebagai saksi.
"Orang yang memberikan kuasa masih dalam proses,"
kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) yang
saat itu masih dipegang oleh Komjen Ari Dono
Sukmanto.
Pemberi kuasa dimaksud, tak lain adalah Adnim
Arnas."Jadi Arnas juga kami mintai keterangan karena
dialah yang beri kuasa. Sebagai ketua yayasan,
seharusnya Arnas menggunakan uang yayasan untuk
kepentingan yayasan," tutur Ari saat itu.
Berdasarkan informasi, penyidikan kasus pencucian
uang bermula dari seruan donasi yang diduga digagas
GNPF MUI. Karena tidak ingin tanpa
pertanggungjawaban dan tidak memiliki rekening,
lantas GNPF MUI menjalin kerjas sama dengan
yayasan tersebut.
Penggalangan dana diketahui untuk kegiatan aksi
Bela Islam 411 dan 212. Belakangan, melalui
pemberitaan sebuah media online, Sekjen DPD FPI
Jakarta, Novel Chaidir Hasan Bamukmin membantah
adanya seruan penggalangan dana ini.
Dari informsi inilah kemudian polisi memulai
penyelidikan. Setelah menggandeng PPATK, polisi
langsung menemui adanya tindak pidana atas kasus
pencucian uang Yayasan.
Muhammad Gatot Saptono alias Ustadz Al-Khaththath
Sekjen Forum Ulama Indonesia (FUI) Muhammad
Al-Khaththath kini meringkuk di tahanan polisi. Dia
diduga hendak menggulingkan pemerintahan Jokowi-
JK.
Al-Khaththath, yang memiliki nama asli Muhammad
Gatot Saptono, bukan orang baru di panggung
nasional. Dia pernah menjabat Ketum DPP Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) periode 2002-2004. Seperti
yang sudah umum diketahui, HTI menolak demokrasi,
bahkan kerap menggelorakan pendirian khilafah di
Indonesia. Terakhir, organisasi itu dibubarkan secara
hukum oleh pemerintah.
Al-Khaththath tak menduduki masa jabatannya secara
penuh. Isu tak sedap mengiringi pencopotannya dari
kursi Ketum HTI. Setelah tak lagi menjabat Ketum
HTI, Al-Khaththath masuk parpol, bahkan maju
sebagai caleg dari Partai Bulan Bintang (PBB). Namun
dia kalah bertarung di dapil DKI Jakarta III dan gagal
duduk menjadi wakil rakyat di Senayan.
Pria kelahiran 12 Juni 1964 itu, juga pernah aktif di
MUI. Sejak 2005 hingga 2010, Al-Khaththath aktif
sebagai pengurus Komisi Dakwah MUI. Terakhir Al-
Khaththath hanya aktif di FUI, organisasi yang pernah
menelurkan wacana NKRI Bersyariah bersama FPI.
Tujuan wacana itu adalah menerapkan hukum Islam
di Indonesia.
Bersama FUI pula Al-Khaththath menggalang
kekuatan massa Islam meneruskan aksi-aksi
demonstrasi menuntut hukuman bagi Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok), terdakwa penista agama. Al-
Khaththath kembali menggalang kekuatan setelah
sejumlah tokoh 411 dan 212 dijerat kasus hukum.
Kini Al-Khaththath sendiri yang terjerat kasus hukum.
Dia diduga terlibat dalam pemufakatan makar untuk
menggulingkan pemerintahan yang sah. Sebelum
kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan, Al-Khaththath
sempat ditangguhkan penahanannya.
Pada Juni 2017, polisi melimpahkan berkas perkara
makar Al Khaththath ke kejaksaan. Kabid Humas
Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan,
saat ini pihaknya masih menunggu jaksa peneliti
mengkaji berkas perkara tersebut. Dia berharap agar
JPU segera menyatakan berkas tersebut lengkap agar
segera disidangkan.
Seperti diketahui, bersamaan dengan Al-Khaththath,
polisi juga menangkap ZA, IR, V, dan M. Penangkapan
itu, terkait dugaan pemufakatan makar pada Jumat
(31/3/2017). Kelima orang tersebut disangkakan Pasal
107 KUHP juncto Pasal 110 KUHP tentang
Pemufakatan Makar. Sementara itu, V, dan M juga
dikenai Pasal 16 UU Nomor 40/2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menurut
polisi, V dan M sempat melontarkan perkataan yang
menghina etnis tertentu.
KH Sulaiman Rohimi
Di luar dari nama-nama ulama yang dicantumkan
alumni 212 dalam pamplet bela ulama, adalah KH
Sulaiman Rohimi, yang juga digembar-gemborkan
dikriminalisasi. Sulaiman adalah Ketua Majelis Ulama
Indonesia Kecamatan Jagakarsa, diperiksa Kepolisian
Resort Metro Jakarta Selatan pada Januari 2018, atas
tuduhan menyebar ujaran kebencian yang dilaporkan
oleh Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jakarta Selatan
Sulton Mu'minah.
Kejadian bermula pada saat Sulaiman mengirimkan
meme ke grup WhatsApp MUI Jakarta Selatan pada
November 2017, yang isinya dinilai mendiskreditkan
Ansor dan menyebarkan kebencian.
Isi stikernya (meme) menyebutkan GP Ansor menjaga
gereja mengusir ulama. Kepala Polres Metro Jakarta
Selatan Komisaris Mardiaz Kusin mengatakan, pelapor
menyerahkan screen shoot pesan WhatsApp yang
isinya ujaran kebencian kepada salah satu kelompok.
Polisi pun memeriksa pelapor sebagai saksi dan Ketua
MUI Jagakarsa Sulaiman.
"Tadi sudah kami pertemukan pihak terlapor dan
pelapor. Karena masih satu wadah (Nahdatul Ulama)
sepertinya ingin diselesaikan secara jalur
kekeluargaan," ucapnya.
Sulaiman sendiri berharap masalah ini diselesaikan
secara kekeluargaan. "Saya berharap bisa bersatu dan
tidak ada lagi clash," ucapnya tentang laporan bos
Ansor Jakarta Selatan.
Nah, dari pemaparan para ulama yang disebut-sebut
dikrimanalisasi itu, tak da satupun yang masuk kriteria
‘kriminalisasi ulama’. Semua kasusnya, jelas diperiksa
secara hukum berdasarkan temuan polisi maupun
pengaduan seseorang.
Menurut seorang sumber, harus diakui betapa
kelompok mereka ini sangat cerdas sekali dalam
membangun narasi. Ketika Rizieq terjerat kasus
hukum akibat pernyataan-pertanyataannya yang
provokatif dan SARA, para pengikutnya langsung
menyebut pemerintah melakukan kriminalisasi ulama.
Mengapa mereka memilih kata ulama? sebab ulama
memiliki posisi yang sangat agung dalam agama Islam.
Levelnya di atas ustad dan kyai. Level paling tinggi.
Sehingga dengan menggunakan istilah “kriminalisasi
ulama”, maka secara otomatis akan membakar
semangat jamaahnya. Selain itu juga dapat
mempengaruhi orang-orang awam, yang tidak paham
pokok masalahnya. “ulama mau dipenjara, rezim ini
anti Islam,” begitulah komentar-komentar dari orang
yang tidak tahu apa kasus hukum yang menjerat
Rizieq.
Jadi selebihnya yang dicantumkan di pamflet, adalah
masyarakat sipil biasa yang tidak memiliki embel-
embel ‘ulama’. Mereka hanya merasanya aktivis.
Seperti Buni Yani.
Kasus Buni Yani sendiri, sama sekali murni diperiksa
polisi karena adanya laporan dari Andi Windo
Wahidin kepada polisi, terkait postingan video Ahok
di Kepulauan Seribu. Seperti diketahui, karena
postingan ini, Ahok kini harus mendekam di penjara.
Karena laporan dari Andi Windo inilah, Buni Yani
diperiksa polisi. Selanjutnya, proses hukum pun
berlanjut ke pengadilan. Nah, di Pengadilan Negeri
Bandung, Buni Yani divonis dengan hukuman 1,5
tahun penjara, karena terbukti mengubah video pidato
bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok di Kepulauan Seribu. Majelis hakim
menilai, Buni Yani terbukti melanggar Pasal 32 ayat
1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE).
Itulah sebenarnya yang terjadi pada Buni Yani.
Artinya, tidak benar jika dia dikriminalisasi. Lihat
saja, proses hukumnya jelas, ada laporan atau
pengaduan, kemudian diproses polisi atas pengaduan
itu, lalu dilimpahkan berkas perkaranya ke pengadilan.
Dan pengadilan pun menjatuhkan vonis hukuman.
“Jadi dimana kriteria kriminalisasinya. Kriminalisasi
itu jika seseorang ditahan tanpa pengaduan pidana
dan proses hukum,” kata Syafruddin aktivis PKB.
M Riz
No comments:
Post a Comment