Bagaimana hubungan agama dan politik adalah perdebatan klasik yang tak kunjung usai, entah sampai kapan. Ada yang mengatakan perdebatan ini akan berhenti dengan sendirinya manakala masyarakat sudah beranjak dewasa dan bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ternyata, di negara-negara maju sekalipun, kerumitan hubungan antara agama dan politik tetap terjadi.
Di Indonesia, kita menemukan banyak fakta bahwa dosis agama akan menguat pada setiap saat menghadapi kontestasi untuk merebut jabatan-jabatan politik. Penggunaan dosis agama dalam berpolitik inilah yang sering kita sebut dengan poilitisasi agama, yakni agama dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan politik.
Mengapa agama sangat mudah dijadikan alat politik, karena semangat emosional merupakan unsur terkuat dalam memperkokoh dukungan. Salah satu unsur terpenting dalam agama adalah keimanan yang dalam bahasa teknisnya merupakan keterlibatan emosi dalam membangun keyakinan pada sesuatu yang gaib dan yang maha kuasa. Jika unsur emosi ini disentuh, kemungkinan besar akan terbawa dalam satu arus (emosi) yang sama. Maka, politisasi agama menjadi gerakan politik yang sangat efektif.
Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahap ketiga yang berlangsung 27 Juni 2018 di 171 (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota) membuktikan dengan sangat nyata efektifnya gerakan politisasi agama, terutama di daerah-daerah yang terdapat pemisahan yang relatif jelas antara partai yang selama ini mengusung semangat “agama” dengan yang “nasionalis”.
Di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara bisa menjadi contoh. Pasangan Sudrajat-Syaikhu di Jawa Barat, meskipun belum berhasil menjadi pemenang, karena menggunakan isu agama pada saat kampanye, berhasil meraih suara yang signifikan, meningkat drastis dari perkiraan lembaga-lembaga suvei. Demikian juga pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah di Jawa Tengah. Adapun pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah di Sumatera Utara berhasil memenangkan kontestasi, selain dengan menggunakan isu agama juga isu etnis.
Memang banyak tokoh agama yang membantah, atau lebih tepatnya mengelak adanya politisasi agama, tapi fakta-fakta di lapangan jelas menunjukkan adanya gerakan ini. Tampaknya, dalam melihat isu ini, tergantung pada bagaimana kita menginterpretasikan fakta-fakta di lapangan. Bagi yang menolak atau mengelak politisasi agama berpandangan bahwa penggunaan isu agama merupakan bagian dari ekspresi politik warga negara yang dibenarkan dalam perspektif demokrasi.
Yang menjadi masalah sebenarnya bukan pada aspek penyaluran aspirasi politiknya, tapi pada saat agama digunakan sebagai sarana kampanye untuk meraih kekuasaan, akan sangat potensial menjadi alat pemecah belah umat yang secara faktual tidak terkonsentrasi pada pasangan calon tertentu. Semua pasangan calon memiliki pendukung dari kalangan umat. Klaim salah satu pasangan calon selain mengandung unsur kebohongan, juga akan menimbulkan ketidakpercayaan publik pada agama sebagai alat pemersatu. Menurut saya, inilah salah satu bahaya dari politisasi agama.
Bahaya lain yang tidak bisa dianggap enteng adalah kemungkinan terkoyaknya keutuhan republik. Benar bahwa republik ini lahir dengan dilandasi semangat keagamaan yang kuat. Tapi, yang harus disadari, republik ini juga lahir karena kuatnya semangat kebersamaan dari berbagai unsur yang ada di nusantara, yakni unsur agama, suku, ras, dan ragam budaya. Penonjolan salah satu aspek saja dari beragam unsur ini akan menumbuhkan kecemburuan dan sentimen yang negatif. Jika sentiment negative ini terus dibiarkan bisa mengarah pada perpecahan.
Banyak kalangan menduga bahwa siapa pun yang menolak politisasi agama sebagai manifestasi dari Islamofobia, atau sebagai ekspresi dari ketidaksukaan pada Islam. Dugaan ini salah besar. Menolak politisasi agama justru sebagai bentuk pemuliaan terhadap nilai-nilai agama. Agama harus kita jadikan pedoman dalam merajut kebersamaan, bukan sebaliknya. Agama harus menjadi dasar sikap semua pejabat negara, bukan hanya dijadikan alat meraih suara kemudian dicampakkannya.
Pada saat agama semata-mata dijadikan alat politik, maka yang terjadi adalah pengabaian pada nilai-nilai luhurnya. Sebagai contoh, agama melarang dengan tegas transaksi suap menyuap, korupsi, dan perbuatan-perbuatan lain yang merugikan rakyat. Tapi karena agama hanya dijadikan alat politik, tindakan-tindakan buruk ini pun tidak sedikit yang melakukannya. Agama hanya sebatas lips service, hanya sebatas jargon politik yang tidak mewujud dalam tingkah laku politik sehari-hari.
Kita pernah mendengar adanya fakta-fakta yang terpapar di persidangan tindak pidana korupsi (tipikor), ada oknum-oknum koruptor yang dalam menjalankan aksinya menggunakan istilah-istilah kitab suci sebagai kode-kode rahasia untuk mengelabuhi orang lain. Dengan menggunakan istilah-istilah kitab suci, disadari atau tidak, yang bersangkutan telah melumuri agama dengan kotoran.
Maka, sekali lagi, menolak politisasi agama adalah wujud dari upaya memuliakan agama. Kita mencegah kemungkinan publik tidak percaya lagi pada agama lantaran terlampau sering menjadi penghias bibir para koruptor. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada oknum-oknum koruptor yang melegitimasi tindakannya dengan dalil-dalil agama.
Kita tidak menolak agama dalam berpolitik. Yang kita tolak adalah setiap upaya politisasi (mengotori) kesucian agama yang akan membahayakan bagi keberagaman dan keutuhan kebangsaan kita.
Jeffrie Geovanie
http://jeffriegeovanie.com
Anggota MPR RI 2014-2019
https://psi.id/berita/2018/08/17/bahaya-politisasi-agama/http://jeffriegeovanie.com
Anggota MPR RI 2014-2019
No comments:
Post a Comment