Sahabat Katolik Garis Lucu (Love, Unity, Compassion, Universal) menyerahkan Kado untuk Riyanto berupa tali asih kepada kedua keluarganya di Gereja Paroki St. Yoseph Jalan Pemuda, Margelo, Kecamatan Magersari Kota Mojokerto, Minggu (29/12/2019).
SURYA.co.id | MOJOKERTO - Sahabat Katolik Garis Lucu (Love, Unity, Compassion, Universal) menggalang dana tali asih sebagai kado Natal untuk Riyanto pejuang toleransi.
Riyanto adalah anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser) yang tewas terkena ledakan bom di Gereja Eben Haezer di Mojokerto pada malam Natal, 24 Desember 2000 silam.
Lebih dari 1000 donatur dari berbagai golongan, suku dan ras, turut berpartisipasi dalam penggalangan dana kado Natal untuk Riyanto tersebut.
Penggalangan dana yang dipublikasikan via akun Twitter Sahabat Katolik Garis Lucu selama 15 hari ini tenyata mampu menyedot antusiasme banyak donatur.
Mereka menghimpun dana dari donatur melalui rekening kitabisa.com yang tenyata melebihi target, semula maksimal Rp 50 juta sampai terkumpul sekitar Rp.106 juta.
Dana tali asih diserahkan langsung oleh Alma Costa selaku Koordinator Sahabat Katolik Garis Lucu dari Jakarta bersama OMK (Orang Muda Katolik) didampingi perwakilan Ansor kepada kedua orang tua dari Almarhum Riyanto di Gereja Paroki St. Yoseph Jalan Pemuda, Margelo, Kecamatan Magersari Kota Mojokerto, Minggu (29/12/2019).
"Kami tidak menyangka antusias sahabat dan semua donatur ini sungguh sangat luar biasa bahkan penggalangan dana kado Natal untuk Riyanto melebihi target yang ditentukan," ujar Alma Costa.
Alma menjelaskan kado untuk Riyanto ini dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum dan keluarga yang ditinggalkannya.
Dia berjasa besar karena telah mengajarkan bukti kepedulian tanpa perbedaan yang selama ini sudah 74 tahun Kemerdekaan masih dilanda krisis toleransi.
"Kado Natal untuk Riyanto ini dirasa paling pas bisa menggaungkan kesatuan dalam perbedaan dan keberagaman ini," ungkapnya.
Kenapa dipilih kado Natal untuk Riyanto?
Alma mengatakan sejak dulu ceritanya diulang terus soal Riyanto anggota Banser yang meninggal saat berjaga Gereja di Mojokerto karena teror bom tahun 2000.
Riyanto menurutnya merupakan pahlawan kemanusiaan karena meskipun perbedaan dia mengorbankan diri saat ledakan bom di gereja kala itu.
"Sekarang ini sudah 74 Kemerdekaan kita tidak perlu muluk-muluk cukup menerima segala perbedaan itu sudah memenuhi diri. Karena ketika datang kemanapun saya tidak akan katakan saya Katolik tidak begitu tapi saya adalah Indonesia," selorohnya.
Pembukaan donasi, lanjut Alma, dilakukan selama dua pekan yang ditutup sebelum malam Natal sampai 23 Desember 2019. Dana terkumpul sekitar Rp.106 juta yang dipotong 5 persen sesuai ketentuan situs kitabisa.com untuk biaya operasional.
Total donasi yang diterima panitia sekitar Rp.100.200.000.
"Total dana yang kita terima dari donasi diserahkan ke orang tua Almarhum Riyanto melalui rekening Bank yang kami berikan di Mojokerto," jelasnya.
Ditambahkannya, pada mulanya target awal senilai Rp 50 juta akan diberikan ke orang tua Almarhum Riyanto maka panitia memberikan keleluasaan kepada pihak keluarga karena donasi yang diperoleh dua kali lipat melebihi target.
Orang tua menyetujui karena di dalam narasi ada teman-teman Riyanto yang juga menjadi korban ledakan bom di gereja Mojokerto.
"Jadi kado Natal Rp 50 Juta untuk Riyanto dan orang tuanya sepakat sisanya adalah berkat untuk teman-temanya kami berikan kepada mereka," ujarnya.
Adapun teman-teman Riyanto adalah anggota Banser yang juga turut berjaga di gereja tersebut, yakni Amir Sugianto, Almarhum Wulyono (Meninggal karena sakit), Subandi dan Hartono.
Mereka mendapat tali asih dari Sahabat Katolik Garis Lucu di Jakarta.
Kemudian, donasi juga diberikan pada Martinus Joni Jemaat Katolik Gereja Paroki St. Yoseph yang menjadi korban ledakan bom.
Agung Prasetiyoadi, anggota Bidang Kerasulan Umum Gereja Paroki St. Yoseph menambahkan, dari awal bersama anggota OMK (Orang Muda Katalik) sudah mempersiapkan kegiatan ini.
Mereka bertugas menemui keluarga Riyanto sesuai permintaan dari panitia Sahabat Katolik Garis Lucu di Jakarta.
"Untuk acara ini kami membantu dan mendukung mendalami data yang diterima, menyiapkan sarana untuk memfasilitasi acara tersebut bersama adik-adik OMK ( Orang Muda Katolik)," ucapnya.
Ia mengatakan pihaknya juga berkoordinasi dengan Ansor Kota Mojokerto karena yang bersangkutan merupakan bagian dari Banser Tidak kalah pentingnya ia selalu intens menjalin komunikasi dengan orang tua Riyanto.
"Sukarmin orang tua Riyanto adalah tukang becak di depan Gereja Paroki St. Yoseph jadi kami sering bertemu," tandasnya.
Setelah menyerahkan tali asih ini kepada perwakilan keluarga rombongan Sahabat Katolik Garis Lucu dan Orang Muda Katolik bersama Ansor berziarah ke makam Riyanto.
Kado Natal untuk Riyanto ini disambut baik oleh Ahmad Saifulloh ketua PC GP Ansor Kota Mojokerto.
Menurut dia, terutama dijajaran Ansor Kota Mojokerto berkewajiban untuk terus menghidupkan momen dari jasa Riyanto.
Karena ini sudah tidak hanya dari Ansor tetapi juga menjadi bagian dari seluruh elemen termasuk di bidang Keagamaan dan Ormas.
"Karena Riyanto adalah Banser maka didalamnya otomatis Ansor berkewajiban untuk selalu ikut mendampingi yang berhubungan dengan Riyanto termasuk pada kegiatan tali asih ini," ujar Ahmad Saifulloh.
Ia mengatakan pihaknya tidak mempersoalkan tema tali asih disebut Kado Natal Untuk Riyanto. Justru Ansor pihaknya mengapresiasi karena pada dasarnya sebagai orang masih terbatas dan terbelenggu dengan identitas tertentu termasuk soal keagamaan.
Sehingga seakan-akan hal baik ini dalam tanda kutip dilihat menjadi tidak baik.
"Tema kado Natal untuk Riyanto ini seakan-akan terbatas adanya istilah Natal disitu sedangkan Riyanto muslim. Tapi menurut saya ini justru harus dilakukan karena kebaikan yang berdasarkan kemanusiaan seharusnya tidak dibatasi identitas apapun termasuk keagamaan," tutupnya.
Sahabat Katolik Garis Lucu (Love, Unity, Compassion, Universal) menyerahkan Kado Untuk Riyanto berupa tali asih kepada kedua keluarganya di Gereja Paroki St. Yoseph Jalan Pemuda, Margelo, Kecamatan Magersari Kota Mojokerto, Minggu (29/12/2019).
https://politikandalan.blogspot.com/2019/12/sahabat-katolik-garis-lucu-galang-dana.html Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Sahabat Katolik Garis Lucu Galang Dana Kado Natal untuk Riyanto si Pejuang Toleransi asal Mojokerto, https://surabaya.tribunnews.com/2019/12/29/sahabat-katolik-garis-lucu-galang-dana-kado-natal-untuk-riyanto-si-pejuang-toleransi-asal-mojokerto?page=4. Penulis: Mohammad Romadoni Editor: Parmin
Pagi ini Djarum Group memasang iklan kemasyarakatan 4 halaman di Jawa Pos, 50 thn melayani negeri dengan segudang prestasi. Selain telah melahirkan atlet Bulu Tangkis kelas dunia, 11 diantaranya mempersembahkan medali olimpiade, dan telah membina 5.000 atlet sejak 1969. Menanam 2 jt pohon pada pinggir jalan sepanjang 2.307 km di Jawa-Madura yg bisa menyerap 2,9 jt ton CO2, Beasiswa Plus untuk 11 ribu anak didik, 52.000 org mendapat rawatan medis gratis, 28.000 org mendapat bantuan air bersih, dan banyak lagi, selain tentunya pekerja yg menggantungkan hidupnya bekerja di pabrik rokok djarum ( rokok antara mematikan dan membuat kehidupan ).
Djarum, identik dengan Hartono sang pendiri, yang sekarang juga memiliki BCA group, dia adalah orang terkaya di Indonesia bersama orang kaya lainnya dengan segala macam kiprahnya dan dengan segala macam kurang-lebihnya, yang pasti sebagian besar mereka telah berbuat nyata untuk sesama, dalam konteks kemanusiaan tanpa embel-embel rayuan surga dan kawin 4 sampai 5. Hablum minannas mereka jalankan dengan tanpa pamrih apakah mereka mendapat hadiah dari Tuhan, mereka hanya mengerti kemanusiaan adalah sebuah kewajiban yg harus dijalankan, bukan cuma cuap-cuap, tapi tak bersikap, apalagi sigap.
Terbayang ributnya soal izin gereja, pembubaran orang beribadah di halaman terbuka karena ijin gereja tak kunjung tiba, Indonesia punya pancasila, kita mengaku pemilik surga, tapi gereja dianggap monster yang menakutkan, mengaku beriman tapi takut setan. Teriakan sinis terus membanjiri kanan kiri kehidupan beragama kita, seolah kita lupa ada tauladan dan terus kita shalawatkan, tapi ajarannya ada yg diabaikan, apakah Rasullulah pernah berbuat tak adil kepada pemeluk agama lain, kita bangga menyeritakan Rasullulah setiap jumat menyuapi seorang Yahudi buta sampai dia wafat, kita bangga dengan Piagam Madinah, konstitusi pertama didunia yang banyak mengilhami demokrasi negara didunia, tapi kita abai menjalankannya, karena sejujurnya kita cuma mengelus kulitnya, lupa isinya.
Teriakan rasis lainnya terus disemburkan kepada etnis Cina, bahkan stigma ketidaksukaan itu digandengkan dengan Jokowi sebagai keturunan Cina, pendukung Cina, dan anti ulama. Mereka lupa belanja di toko 212, 90% produk dari pabrik orang Cina, mereka lupa 80 % perputaran ekonomi Indonesia di pegang orang Cina, pabrik kacang saja yg punya Cina, ini semua akibat lupa sejarah dan titah Rasullulah, BELAJARLAH SAMPAI KENEGRI CINA, Walisongo konon 3 diantaranya orang Cina, islam masuk Nusanatara juga Cina yg ikut menyebarkannya, tapi memang kita ini lucu bin culun, benci sama Cina, LIUS DIJADIKAN ULAMA, ROCKY GERUNG DIJADIKAN RUJUKAN, terus kita bisa apa. Ya, kita punya kebanggaan penganut agama yg digdaya, punya surga, istri dimana-mana, ribut semua mau syariah, tapi pelit bersedekah, mayoritas tapi tak berkualitas, ada ulama panutan, suka dengan ustadz karbitan, ada ilmu rujukan, suka ceramah cengengesan, populasi dominan, prestasi pinggir jalan.
Ah,..ngomongin kalian memang tak ada habisnya, gayanya semua rujukan dari Tuhan, didepan mata urusan kemanusiaan kalian abaikan, baru pulang berhaji ceritanya menakjubkan, tapi lupa di Yaman banyak orang mati kelaparan. Bagaimana menuju yang vertikal kalau lupa yg horizontal, Tuhan tidak kemana-mana karena Dia ada arsyNya, dan semua kita kembali kepadaNya, tapi manusia sebagai lahan saling iling bukan tempat kita berpaling. Jadi kalau sampean mau masuk surga urusin saja manusia sebagaimana seharusnya, jangan takut dengan agamanya, jangan kecut dengan rumah ibadahnya, amat sangat lucu prilaku kita, benci dan takut dengan orangnya, tapi kita makan Indomienya, kita hisap rokoknya, dan menenteng oleh-oleh Lumpia, yg dibuat orang Cina, hahaha
SELAMAT UNTUK DJARUM GROUP YG TELAH MENGABDI UNTUK INDONESIA, MAAFKAN KAMI YG MASIH MENIKMATI MAKIAN DIPINGGIR JALAN. DJARUM MEMANG SUPER, KAMI CUMA BAPER. • Dahlan Iskan.
Emrus Sihombing Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner (Sumber foto : Istimewa)
Beberapa media online terkemuka di tanah air mengutip pandangan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang terkesan sangat prematur, terburu-buru dan emosional.
Menurut ICW, Firli Cs adalah pimpinan KPK paling buruk sepanjang sejarah. Bahkan ICW juga menilai bahwa, ini tahun kehancuran bagi KPK, yang benar-benar disponsori oleh Istana atau Presiden Jokowi dan anggota DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024.
Pandangan dan penilaian tersebut, menurut saya sudah melampaui kewajaran, baik dari aspek dugaan pelanggaran hukum maupun ketidak taatan pada prinsip dan proses ilmiah.
Karena itu, terhadap pandangan dan penilaian ICW tersebut, saya menyarankan kepada Biro Hukum Kepresidenan, Biro Hukum DPR-RI dan Biro Hukum KPK secara terpisah melakukan pengkajian untuk mengurai apakah ada unsur dugaaan pelanggaran hukum.
Jika hasil kajian menunjukkan memenuhi unsur sebagai dugaan pelanggaran hukum, maka tiga biro hukum tersebut secara terpisah harus melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Ini tidak boleh dibiarkan. Tidak ada yang kebal hukum dengan alasan apapun, baik terhadap yang menamakan dirinya sebagai organisasi anti korupsi.
Sebagai contoh, ungkapan bahwa kehancuran bagi KPK, yang benar-benar disponsori oleh Istana atau Presiden Jokowi dan anggota DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024, menurut saya, mengandung makna yang sangat berpotensi merendahkan Lembaga Kepresidenan-RI dan institusi DPR-RI. Ini, menurut saya, ICW sudah sangat keterlaluan.
Sedangkan dari aspek prinsip-prinsip ilmiah, terhadap pandangan dan penilaian ICW tersebut, belum didukung oleh fakta, data dan bukti yang holistik, kuat, mendalam serta jenuh.
Dengan kata lain, dari aspek prinsip-prinsip ilmiah, belum cukup kuat fakta, data dan bukti bagi ICW mengemukakan pandangan dan penilaian tersebut sebagai suatu proposisi ilmiah.
Lihat saja salah satu proposisi yang mereka lahirkan sebagai contoh, "Firli Cs adalah pimpinan KPK paling buruk sepanjang sejarah." Selain proposisi ini sangat prematur tetapi juga dangkal sekali. Sebab, lima komisioner masih hitungan hari memimpin KPK. ICW, menurut saya, tampaknya terlalu emosional sehingga mengabaikan rasionalitas.
Merujuk pada proposisi ICW tersebut di atas sebagai suatu contoh konkrit, publik bisa meragukan kredibilitas proses ilmiah yang selama ini dilakukan ICW sebagai sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia.
Untuk itu, saya menyarankan kepada teman-teman di ICW agar lebih hati-hati dari aspek hukum dan prinsip ilmiah dalam melontarkan pandangan dan penilaian (proposisi) ke ruang publik.
Sebab, jika kurang hati-hati bisa berujung pada proses hukum dan yang paling buruk berpotensi menurunkan kredibilitas dan reputasi ICW dari aspek ilmiah, yang seharusnya dirawat oleh para pihak, terutama orang yang mengabdi di ICW selama ini.
Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang. 👮🏿👳🏾 https://politikandalan.blogspot.com/2019/12/icw-sudah-melampaui-batas-kewajaran.html
"Hati-hati, mulai 2020 nanti Indonesia bisa bergolak.."
Begitu kata seorang teman mengingatkan. Ia lalu bercerita tentang rencana "perang" Jokowi dengan negara Uni Eropa, yang akan dikenal dengan perang Nikel.
Nikel ? Ya, Nikel. Nikel adalah salah satu sumber alam terbesar Indonesia. Kita bahkan punya cadangan sampai 200 tahun ke depan. Terbesar ke 6 di dunia.
Apa hebatnya Nikel ?
Nah, ini dia. Nikel adalah salah satu unsur penting untuk membuat baja. Tanpa Nikel, tidak ada yang namanya stainless steel yang sekarang sudah masuk ke kebutuhan pokok manusia.
Selama ini kita selalu mengekspor bahan mentah Nikel ke seluruh dunia. Di negara sana Nikel diolah dan diekspor kembali ke Indonesia dalam bentuk silet, peralatan dapur, sampai bahan konstruksi.
Kita ekspor mentahnya murah, tapi kita impor barang jadinya mahal. Negara lain yang dapat keuntungan, bukan kita. Kita cuman "diperah" susunya saja, dagingnya mereka yang makan.
Inilah yang buat Jokowi murka. Dia lalu memerintahkan, "stop ekspor Nikel !". Bangun industri pengolahan disini dan ekspor barang jadinya bukan mentahnya.
Niat Jokowi ini mendapat momen ketika Uni Eropa melarang perdagangan sawit yang menjadi komoditi andalan Indonesia. "Sekalian saja, kita stop ekspor Nikel ke mereka.." kata Jokowi.
Ngamuklah Uni Eropa. Industri baja yang selama ini jadi andalan mereka akan runtuh dan itu akan mempengaruhi ekonomi mereka. Ratusan ribu pegawai akan kehilangan pekerjaan. Dan ini berbahaya untuk kestabilan politik mereka.
Jokowi memang gila. Dengan cueknya dia bilang, "Suka suka kita, wong kita yang punya.."
Makin ngamuklah Uni Eropa.
Tapi mau ngamuk gimana ? Dibelakang Jokowi ada China yang lebih santun dalam berdagang. China butuh Nikel untuk mobil listrik mereka yang akan mereka produksi besar2an tahun 2035.
Untuk apa Nikel di mobil listrik ? Untuk batere lithium lah. China memastikan mereka akan investasi di Indonesia membangun pabrik batre lithium besar. China masukin duit kesini, sedangkan Uni Eropa cuman main perah saja.
"Terus bahayanya Indonesia dalam situasi seperti itu dimana ?" Tanyaku.
Kalau melihat pola dari yang apa yang sudah dilakukan Uni Eropa dan sekutu mereka Amerika, kemungkinan mereka akan menggoyang Indonesia lewat kelompok radikal.
Kelompok radikal yang sudah tumbuh subur di negeri ini sejak jaman SBY, akan dipake sebagai senjata. Demo besar akan digerakkan supaya chaos.
Musuh politik akan dibangun sebagai kekuatan baru yang bersahabat dengan negara barat. Sedangkan Jokowi akan dicap "komunis" karena lebih dekat dengan China seperti Soekarno dulu.
Bisa jadi Rizieq di Saudi juga sedang dipersiapkan untuk memimpin revolusi dgn konsep revolusi Islam seperti yang pernah terjadi di Iran.
Itulah kenapa pemerintahan Jokowi ini seperti sangat berhati2 dalam menangani kelompok radikal. Terlalu keras, bisa memunculkan isu baru yang akan digoreng keluar seperti etnis Uighur di China. Terlalu lunak, mereka akan berkembang biak lebih banyak.
Cara yang lebih baik adalah biarkan mereka ada, tapi diawasi terus dan dilokalisir. Kalau mulai bandel, jitakin kepalanya sampe benjol tapi jangan mati, nanti jadi senjata api.
Tahun depan, siapkan cangkir kopi yang banyak karena perang kita akan semakin luas. Seperti kata pepatah, "kampret hilang, kadrun terbilang".
"FPI Diberi Nafas, Bom Waktu Siap Meledak, Negara Bakal Rugi Triliunan"
Entah apa yang merasuki pemerintah, wacana membubarkan FPI dengan tidak memperpanjang izin saja tak bisa. Tito berusaha menyerang, tapi kalah dengan tekanan pelindung sekaligus pendiri FPI yang entah siapa.
Kasus intoleransi diperiode kedua harusnya sudah tuntas, langsung dapat dieksekusi saat ini juga, karena pencarian mengenai sumber masalah dan beragam analisa mengenai intoleransi ini harusnya sudah diselesaikan diperiode pertama.
Menag tak berkutik, Wiranto dilantik ketua Wantimpres. Luhut tetap mengisi jabatan. Lingkaran masa lalu Jokowi membelenggu membuatnya tak bergerak.
Kita sekarang melihat Ibukota dibangun megah dan lebih diprioritaskan. Sedangkan radikalisme tumbuh subur membangun pondasi lebih kuat perlahan.
Presiden Berharap karya terwujud, sedangkan kanker radikalisme diabaikan. Nama Presiden mungkin akan dikenang, tapi bagaimana masa depan bangsa dengan ancaman perpecahan yang bakal terang benderang?
Lucu, lucu sekali, para pembisik mengatakan. kelompok radikalisme itu sedikit, bukan ancaman. Tapi sekali lagi, tolong jangan pura-pura untuk tidak melihat. Ancaman itu nyata, dan Negara dapat rugi hingga triliunan besarnya. Kalau sahnya sekarang menghindari konflik adalah untuk menghemat semata.
Ya, demi menghemat. Jika alasan tidak membubarkan FPI, dan tidak mempermasalahkan izinya lagi itu, hanya karena harapannya menghemat. Maka logika paling masuk akal mengenai keputusan ini adalah salah besar.
Sekarang mungkin Pemerintah dapat menghemat 76 miliar untuk 1 kali demo. Tapi kubu radikalisme itu terus melebarkan sayapnya tanpa berhenti sehari pun.
Kelompok radikalisme itu hidup bahagia dan tentram, bebas melakukan ujaran kebencian, bebas buat sensasi intoleran, diberi panggung sana sini lewat media nasional, sedangkan jika mereka terlibat masalah atau terdesak, tanpa pikir panjang mereka berani mengancam turun ke jalan.
Lihatlah kasus Ahok yang digadang-gadang jadi Dirut, Novel Bakmumin siap turun ke jalan bila terbit pesanan. Menghindari terjadinya konflik, Ahok dimutasikan ke posisi komisaris untuk meredam ancaman keributan
Lagi-lagi, Pemerintah takut dan dapat ditekan, kelompok radikalisme itu berani merubah sejarah dengan melontarkan ancaman.
Hanya demi tak mau kehilangan 76 miliar.
Pemerintah mungkin merasa lebih efisien untuk menghemat dana itu sekarang, sementara bisa dialokasikan ketempat lain. Tapi percayalah, angka 76 miliar akan membeludak, karena segala kebijakan kedepannya akan banyak dipengarahui dengan tekanan-tekanan dari beragam pihak yang punya kuasa menekan.
Maju sedikit dihempas kebelakang mundur, mau mengambil keputusan, harus sesama elite yang senang, jika tidak. prajurit bayaran dapat digerakan. Pemerintah tak lagi mencari solusi bersama rakyat, pemerintah hanya akan mencari solusi dengan mendatangi sesama elite.
Karena elite dianggap yang punya kuasa dan akses modal untuk menggerakan demo. Maka jangan heran bila dimasa yang akan datang, ketimpangan akan semakin besar di rakyat. Jika radikalisme dibiarkan, mereka dapat mendoktrin para rakyat itu menjadi pengikutnya.
Jumlah mereka akan bertambah, sedangkan Pemerintah masih lebih memilih mengabaikan masalah ini. Sejatinya kita paham, Jokowi ingin juga memberantas masalah ini, setidaknya itu yang kita lihat dengan banyak terpilihnya Menteri baru, tapi menyelesaikan masalah ini tak semudah membalikan telapak tangan.
Selama lagi-lagi, ikatan masa lalu Jokowi dijadikan alasan, maka niscaya tak akan dapat berubah banyak. Tito contohnya, berusaha sekali dia melawan, Jokowipun berharap dari Tito dapat menekan. Menurunkan kekuasaan seseorang yang lebih besar dari Jokowi itu di istana. Tapi tidak bisa. Peran orang ini sangat kuat, staffnya terlalu banyak.
Untuk itu, bila Tito bersama Jokowi saat ini merasa diserang dengan sekutu sendiri yang jumlahnya lebih banyak. Kami sebagai rakyat coba membantu dengan menguatkan opini publik bahwasanya di dalam sana ada masalah.
Publik banyak tak mengetahui, tapi kami akan terus menyampaikan informasi secara rinci dengan akurat dari data dan fakta. Publik harus tau bahwa Pak Jokowi sedang berusaha tapi belum bisa banyak bergerak.
Pak Jokowi, kita rakyat Indonesia ini memilihmu, janganlah kamu takut. Kita tidak memilih orang yang menekanmu di istana itu. Kita tak akan membiarkan radikalisme menguasai pemilu 2024 mendatang, kami tak akan biarkan perusak negeri ini berhasil merebut tahta itu. Pak Jokowi jangan takut. Rakyat dibelakangmu siap membantu melawan radikalisme ini bersama.
Presiden Joko Widodo tengah gencar soal hilirisasi pertambangan. Usai kebijakannya untuk setop ekspor nikel raw material di tahun ini yang membuat turbulensi pasar luar biasa, ia berencana juga setop ekspor bauksit dan batu bara. Ia mengatakan, selama ini komoditas-komoditas tambang tersebut diekspor mentah-mentah dan tidak menghasilkan nilai tambah untuk Indonesia. "Bauksit, batu bara kita ekspor berapa juta ton. Ekspor mentahan raw material semuanya," kata Jokowi, dalam membuka Musrembangnas di istana negara, Senin kemarin. Ini, kata dia, yang akan dan harus diubah sebelum diekspor. Jokowi ingin agar komoditas ini diolah dulu jadi barang jadi atau setengah jadi. "Target saya 3 tahun ini setop. Ini hal-hal yang harus saya sampaikan. Daerah tolong dibantu perizinan, kalau ini terjadi tidak ada defisit transaksi berjalan lagi. Gol kita ke sana," jelasnya. Jokowi juga mengeluhkan lagi soal impor migas. "Impor minyak kita kurang lebih sekarang ini 700 ribu-800 ribu barel. Betul Pak Menteri? Kurang lebih ya, per hari. Jangan mikir per tahun. Baik itu, minyak baik itu gas. Dan ada turunan Petrokimia," tutur Jokowi. Jokowi mengatakan, kondisi ini membebani defisit neraca perdagangan Indonesia bertahun-tahun. Padahal, lanjut Jokowi, gas atau LPG yang diimpor oleh Indonesia bisa dihasilkan dari batu bara. "Gas ini batu bara bisa disubstitusi menjadi gas, sehingga nggak perlu impor LPG. Karena bisa dibuat dari batu bara kita yang melimpah, kok kita impor," tegasnya. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial menerangkan, terkait gasifikasi batu bara prinsipnya melihat potensi batu bara yang jumlahnya melimpah terutama jenis kalori rendah, sementara gas jumlahnya terbatas. "Batubara kita terutama yang jenis kalori rendah jumlannya sangat banyak tidak bisa dipakai juga untuk pembangkit. Nah salah satu tekhnologi itu gas yang berasal dari kalori rendah itu diconvert menjadi syngas yang nanti pada ahirnya menjadi dimethyl ether (DME) yang sama kayak liquid petroleum gas (LPG)," ungkap Ego saat peresmian SPBG, di kawasan KIIC Jl Permata Raya, Puseurjaya, Kecamatan Teluk Jambe, Kabupaten Karawang, Selasa (17/12/2019). Ego belum bisa menerangkan terkait nilai keekonomiannya karena saat ini sedang dalam proses pilot project. "Ada dua pilot projek Pertamina dengan Bukit Asam mudah-mudahan mereka bisa mengengangkat dalam skala besar," terangnya. Terkait gasifikasi PT. Pertamina (Persero) menjelaskan sampai saat ini masih mempertimbangkan lokasi untuk proyek gasifikasi batu bara dengan PT. Bukit Asam Tbk (PTBA). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pihaknya saat ini masih mempertimbangkan dua lokasi untuk gasifikasi yakni di Peranap dan Tanjung Enim,"Kita lakukan di dua tempat Peranap dan Tanjung Enim sejak awal dua lokasi. Belum kita putuskan mana yang paling baik,. Feasibility study (FS) sudah selesai, lagi itungan angka" terangnya di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kamis, (12/12/2019). Nicke memastikan proyek gasifikasi ini akan terus berjalan bersama PTBA. Pihaknya juga sudah menghitung nilai keekonomian dari proyek ini. "Produk pertamina kan dimethyl ether (DME) kan buat subtitusi dari liquified petroleum gas (LPG). Nah kita sudah berhitung di keekonomian," imbuh Nicke. Sumber Berita: https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218115503-4-124038/habis-nikel-jokowi-mau-setop-ekspor-bauksit-batu-bara/2 https://www.cnbcindonesia.com/news/20191216161254-4-123479/konkret-jokowi-mau-setop-ekspor-bauksit-ngapain-takut https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20191216134433-85-457381/usai-nikel-jokowi-akan-larang-ekspor-bauksit https://duniatambang.co.id/Berita/read/502/Setelah-Nikel-Jokowi-Buka-Opsi-Pelarangan-Ekspor-Bauksit
Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP), Petrus Selestinus: Pelaksanaan Ibadah Bukanlah Objek Perjajian, Pelarangan Ibadah Natal di Sumatera Barat Kategori Persekusi. Pelarangan Ibadah Natal di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat masuk dalam kategori persekusi yang dilakukan Aparat Pemerintah.
Sebab, alasan yang diberikan Pemerintah setempat dan kepolisian, pelarangan ibadah itu berdasarkan kesepakatan, menunjukkan ketidakpahaman aparatur pemerintah dan aparat kepolisian melaksanakan amanat konstitusi yakni UUD 1945 mengenai kebebasan memeluk, menganut dan menjalankan ibadah agama.
Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP), Petrus Selestinus menegaskan, kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah agama tidak boleh diperjanjikan, bukan sebagai objek perjanjian.
“Loh, kok kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah agama diperjanjikan? Itu bukan objek perjanjian loh,” tutur Petrus Selestinus, Minggu (22/12/2019).
Menurut Advokat Senior Peradi ini, alasan pelarangan penyelenggaraan Ibadah dan perayaan Natal umat Kristiani oleh Masyarakat dan Aparatur Pemda Kabupaten Sijunjung dan Jorongan Kampung Baru dan Kabupaten Darmarsraya, Provinsi Sumatera Barat, karena adanya Kesepakatan antar Umat Warga setempat, membuktikan belum semua aparatur negara dan warga masyarakat menerima dan mengakui konstitusionalitas jaminan kebebasan melaksanakan Ibadah Agama.
“Kita sangat menyesalkan hal itu. Dan kitan mendesak pemerintah untuk menghentikan pelarangan Ibadah Natal umat Kristiani di beberapa tempat di Sumatera Barat,” ujarnya.
Petrus Selestinus menegaskan, tindakan pelarangan itu bukan saja karena pelarangan ini bersifat diskriminatif.
“Tetapi pelarangan ini sudah mengarah kepada tindakan persekusi, atas dasar SARA oleh sekelompok masyarakat dan aparat pemerintah daerah terhadap sekelompok warga umat Kristiani yang minoritas disana, yang mana mereka hendak melaksanakan Ibadah Suci Natal 25 Desember 2019,” jelasnya.
Peristiwa pelarangan ini, lanjutnya, jelas mengusik kenyamanan Umat Kristiani di manapun di Indonesia yang hendak merayakan Natal 25 Desember 2019. Terlebih-lebih karena peristiwa ini terjadi menjelang Umat Kristiani melaksakan Ibadah Natal 2019.
“Pemerintah seharusnya tidak membiarkan warganya melakukan kesepakatan bersama dengan obyeknya adalah soal pelaksanaan ibadah agama bagi warganya,” tegasnya.
Bagi Umat Kristiani, dikatakan Petrus Selestinus, momentum Natal 25 Desember tidak semata-mata sebagai peristiwa spiritual, melainkan juga momentum untuk membangun dan memperkuat relasi sosial antar sesama warga tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), mempertebal toleransi terhadap sesama umat beragama dalam hidup berdampingan secara damai.
Oleh karena itu, Kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah agama tidak boleh dijadikan obyek perjanjian antar umat berbeda agama, antar umat seagama, maupun antar umat beragama dengan pemerintah.
“Karena mengenai kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah agama, meskipun merupakan persoalan yang sangat private, namun hanya negara yang memiliki kewewenangan konstitusional yang secara ekslusif untuk mengaturnya,” jelas Petrus.
Karena itu, lanjutnya, atas alasan apapun, tidak boleh ada kesepakatan atau perjanjian di antara warga masyarakat mengenai tata cara atau syarat-syarat pelaksanaan ibadah bagi setiap pemeluk agama. Yang bersifat membatasi, mengekang, melarang atau meniadakan kebebasan beragama dan pelaksanaan ibdah agama yang sangat privat.
“Karena hanya negara yang berwenang mengatur atau menjadi domain Negara,” pungkasnya.
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sumatera Barat, Hendri menjelaskan kalau Umat Kristen tidak dilarang melakukan ibadah Natal di Sumatra Barat.
Namun, mereka membatasi perayaan Natal di luar tempat ibadah. Hal ini menurut Hendri merupakan hasil kesepakatan untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Kesepakatan ini sudah dibahas oleh Kemenag bersama Forkopinda, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan tokoh masyarakat. Rapat koordinasi untuk membahas persiapan perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung ini sudah dilakukan pada 16 Desember lalu, sebelum mencuat pemberitaan soal pelarangan perayaan Natal di media.
Menurut Hendri, rakor berlangsung di Gedung UDKP Kecamatan Kamang Baru. Hadir juga, perwakilan masing-masing agama, ninik mamak, pemuda, dan perwakilan Kesbangpol.
“Rakor menyepakati untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban serta kerukunan umat beragama. Pelaksanaan ibadah umat Kristen tidak dilarang. Namun, kalau berjamaah silakan dilaksanakan di tempat resmi yang sudah disepakati,” tutur Hendri seperti tertulis dalam siaran pers, Minggu (22/12/2019).
Hendri mengatakan, rakor kerap digelar menjelang perayaan hari besar, termasuk Natal. Khusus Natal di Dharmasraya dan Sijunjung, ada kesepakatan yang sudah berlangsung sejak 2005.
Kesepakatan ini dilakukan antara tokoh masyarakat Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, dengan umat kristiani yang berasal dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru. Kesepakatan itu juga dibahas dalam Rakor.
Menurutnya, masyarakat bersepakat untuk tidak melarang satu sama lain melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing di rumah masing-masing.
Namun, jika dilakukan berjemaah atau mendatangkan jemaah dari tempat lain, maka pelaksanaannya di rumah ibadah resmi di gereja dan memiliki izin dari pihak terkait.
Dia melanjutkan, rumah ibadah berbeda dengan tempat ibadah. Kalau tempat ibadah, maka setiap umat beragama bebas menjalankan ibadah di mana saja. Berbeda dengan itu, rumah ibadah terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan lainnya, juga dari sisi sosial.
“Karena kalau konsepnya rumah ibadah, maka bangunan itu adalah bangunan khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu,” ujarnya.
Rumah ibadah juga menjadi tempat penyelenggaraan ritual keagamaan yang tidak hanya diikuti satu dua orang, tapi bisa mencapai ratusan orang. Hal ini, langsung atau tidak langsung akan terkait dengan persoalan sosial di lingkungan sekitarnya.
“Karena di Dharmasraya tidak ada rumah ibadah berupa gereja, maka masyarakat bersepakat perayaan Natal bersama itu dilakukan di Sawahlunto, bukan di Dharmasraya dan Sijunjung. Karena di dua kabupaten itu nggak ada gerejanya. Jadi kami sudah bermusyawarah, membahas perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung,” katanya.
Terkait munculnya pemberitaan soal pelarangan ini, Hendri mengaku bahwa pihaknya sudah membentuk tim yang meninjau lokasi. Tim ini terdiri atas Kasubbag Kerukunan Umat Beragama, Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Sumbar, Kasi Kepenghuluan, Kasi Kemitraan Umat.
“Alhamdulillah, masyarakat sampai saat ini aman dan rukun,” imbuhnya.
Sedangkan pihak Mabes Polri menyampaikan, Umat Kristiani di Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya dan Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung Sumatera Barat, hanya bisa merayakan Hari Natal di gereja yang resmi, bukan di ruang publik secara besar-besaran.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, situasi ini sebenarnya bukan hal baru, karena sudah menjadi kesepakatan bersama antara warga di dua daerah tersebut sejak lama.
“Ada sebuah konsensus perjanjian dengan masyarakat setempat bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan ibadah ini pertama adalah dipersilakan melaksanakan ibadah Natal seperti biasa di tempat ibadah resmi dan juga dirumah secara pribadi. Namun, bila ada melaksanakan secara jamaah di rumah diminta oleh pemerintah Kabupaten dilaksanakannya di tempat ibadah resmi, jadi sekali lagi tidak ada larangan itu,” ujar Asep kepada wartawan di Hotel Bidakara, Kamis (19/12/2019).
Asep menambahkan, pihak keamanan yang terdiri dari TNI/Polri, dalam hal ini hanya bertugas menjaga perjanjian itu dan menjamin keamanan umat Kristiani dalam menjalani Ibadah Hari Natal.
“Jadi pihak kepolisian bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten untuk betul-betul menjaga konsensus ini, supaya semuanya bisa terjaga dan pihak kepolisian khususnya di-back up oleh TNI dan pemerintah daerah memberikan jaminan itu, bahwa tidak ada sama sekali larangan pelaksanaan ibadah menjelang Natal ini,” ujarnya.
Untuk diketahui, sejak tahun 1985, umat Katolik yang menetap di Nagari Sikabau melakukan kebaktian di sebuah rumah. Namun pada awal 2000, sekelompok warga menolak dan membakar rumah tersebut.
Akibat tindakan itu, umat Katolik di Kampung Baru tidak diizinkan untuk melaksanaan kebaktian dan merayakan Natal bersama sejak 2004-2018.
Ketua Umum Stasi Katolik setempat Maradu Lubis telah berupaya menjalin koordinasi dengan pemerintah dan kelompok masyarakat setempat pada 2010 hingga melapor ke Komnas HAM Sumbar pada 28 Maret 2018.
Namun hingga sebulan kemudian, Pemkab Dharmasraya tak kunjung merespons surat permohonan klarifikasi yang dilayangkan Komnas HAM.
Nasib serupa juga dialami tiga denominasi di Nagari Sungai Tambang. Mereka dilarang melakukan ibadah berjamaah di kawasan yang kerap terjadi masalah antaragama setiap tahunnya.
Polsek setempat sempat mempertanyakan legalitas rumah yang dijadikan tempat ibadah umat Kristen jamaat HKBP, GBI maupun Katolik.
Terkait hal itu, pihak kecamatan berusaha mengundang pimpinan dan perangkat setempat untuk menggelar rapat koordinasi pada 16 Desember 2019.(JR)
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Solidaritas Indonesia Kota Bogor (DPD PSI Kota Bogor) Sugeng Teguh Santoso: Halo Pak Menag dan Pak Polisi, Kesepakatan Melarang Ibadah Natal di Sumatera Barat Melanggar Hukum. Buntut pelarangan Ibadah Natal, usulan untuk membentuk Satuan Polisi Khusus di setiap Polres untuk melindungi hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan muncul. Dan desakan kepada Pemerintah Pusat untuk segera memotong Dana Alokasi Umum (DAU) bagi Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, disampaikan.
Kesepakatan untuk melarang penyelenggaraan Ibadah Natal di wilayah Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, melanggar hukum.
Parah, seperti itulah rendahnya pemahaman dan sikap aparatur Negara dan pemerintah di wilayah itu. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Solidaritas Indonesia Kota Bogor (DPD PSI Kota Bogor) Sugeng Teguh Santoso menegaskan, membuat kesepakatan berupa pelarangan melaksanakan ibadah agama, seperti sepakat melarang Ibadah Natal itu sangat fatal kesalahannya secara hukum.
Advokat Senior Peradi ini mengatakan, kesepakatan yang membatasi hak warga yang beragama Kristen menjalankan keyakinan dan agamanya adalah batal demi hukum. Karena bertentangan dengan hak konstitusional.
“Hak menjalankan keyakinan dan beragama tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun juga. Itu disebut juga non-derogable rights,” tutur Sugeng Teguh Santoso, dalam siaran persnya, Minggu (22/12/2019).
Peristiwa pelarangan Ibadah Natal yang terjadi di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, menjadi suatu gambaran nyata, bahwa kebebasan menjalankan ibadah agama sebagaimana dijamin secara konstitusional, telah dilabrak oleh aparat Negara sendiri.
Sugeng Teguh Santoso menyarankan dibentuknya Satuan Polisi Khusus di setiap Polres untuk melindungi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Kita meminta Pemerintah untuk membentuk satuan polisi khusus di setiap Polres yang melindungi hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,” ujarnya.
Selanjutnya, pemerintah dan aparat penegak hukum juga tidak boleh tunduk pada individu atau kelompok masyarakat intoleran yang merongrong kebhinekaan dan persatuan Indonesia.
Sugeng menegaskan, Negara harus menjunjung tinggi prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan UUD Tahun 1945, dan tidak mengalah pada individu atau kelompok masyarakat intoleran.
“Oleh karena itu, kami juga mendesak Pemerintah Pusat segera memotong Dana Alokasi Umum (DAU) bagi Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat,” ujarnya.
Anehnya, Menteri Agama Fachrul Razi menyebut larangan perayaan Natal di Dharmasraya merupakan kesepakatan bersama masyarakat setempat.
“Belum cek ya itu. Ntar nanti kita tanya bagaimana kesepakatannya itu. Tapi penjelasan mereka itu sudah kesepakatan dan sudah lama Pak itu begitu,” kata Fachrul.
Di sisi lain, pernyataan Menag yang terkesan melegitimasi pelarangan perayaan Natal itu, bertolak belakang dengan keterangan Maradu Lubis, Ketua Stasi Jorong Kampung Baru.
“Walaupun hati kami menangis, kami akan patuh. Cuma sampai kapan pemerintah akan memperlakukan kami seperti itu? Tawaran pemerintah seperti transportasi sudah kami sosialisasikan, kata umat tidak usahlah mengadakan ibadah, mungkin ini ujian untuk kita,” tutur Maradu Lubis.
Namun demikian, Sugeng melanjutkan, andaikan pun kesepakatan bersama masyarakat itu ada, sebagai sebuah perikatan dilihat dari pendekatan hukum keperdataan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum. “Sebab bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM),” jelas Sugeng.
Sekjen Peradi LMPP ini menerangkan, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lainnya itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Suatu perikatan bisa timbul karena persetujuan/perjanjian maupun karena undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1233 KUHPerdata.
Jika merujuk pada Pasal 1313 KUHPerdata, maka suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Suatu persetujuan/perjanjian sah, apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyebutkan Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, satu, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Dua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Tiga, suatu pokok persoalan tertentu, dan, empat, suatu sebab yang tidak terlarang.
Berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata, disebutkan, Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Sejalan dengan itu, Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yang mengatur: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Atau dengan kata lain, hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) merupakan hak dasar yang melekat bagi setiap manusia yang harus dilindungi oleh negara.
Perlindungan atas hak ini telah dituangkan dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan sebagainya.
Dengan demikian, lanjut Sugeng Teguh Santoso, kesepakatan bersama masyarakat yang dimaksudkan Menteri Agama Fachrul Razi, dipandang dari aspek hukum keperdataan bertentangan dengan berbagai instrumen hukum.
“Sehingga tidak sah atau batal demi hukum,” ujarnya.
Oleh karena Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat), maka negara harus menjunjung tinggi hukum dalam melindungi hak atas KBB.
“Termasuk ibadah dan perayaan Natal tahun 2019 bagi seluruh umat Kristiani di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat,” ujar Sugeng.
Dikatakan Sugeng, dalih negara yang berlindung dibalik kesepakatan bersama masyarakat atau dengan alasan demi menjaga keamanan dan ketertiban tidak bisa dibenarkan.
“Karena adanya tekanan dari individu atau kelompok masyarakat intoleran. Itu justru mengingkari amanat konstitusi yang mengamanatkan negara harus menjunjung tinggi prinsip negara hukum,” tutup Sugeng.(JR) https://sinarkeadilan.com/halo-pak-menag-dan-pak-polisi-kesepakatan-melarang-ibadah-natal-di-sumatera-barat-melanggar-hukum/
Pelarangan Ibadah Natal di Sumatera Barat Langgar HAM, Negeri Ini Kok Dikuasai Kaum Intoleran, Penyeleweng Konstitusi Harus Ditindaktegas. Forum Pemuda Kristiani Jakarta: Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta, Jhon Roy P Siregar bersama Ketua Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, Robertus Bondan Wicaksono dan kawan-kawan. (Foto/Ist). Pelarangan Ibadah Natal di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan melabrak konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ulah pelarangan itu diiyakan pula oleh Pemerintah Setempat dan aparat Kepolisian, dengan dalih ada kesepakatan untuk tidak melaksanakan Ibadah Natal bagi Umat Kristen di wilayah itu.
Forum Pemuda Kristiani Jakarta menilai, alasan itu mengada-ada, dan cenderung menyelewengakan konstitusi. Aksi pelarangan Ibadah Natal seperti itu hanyalah ulah kaum intolran yang mencoba berlindung di balik kesepakatan abal-abal, dan itu mengangkangi konstitusi.
Forum Pemuda Kristiani Jakarta yang merupakan gabungan dari Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta bersama Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta dan elemen pemuda lainnya, menegaskan jika aksi-aksi pelarangan beribadah seperti itu masih terus terjadi, maka reaksi di tempat lain bisa berbalik.
“Ini menjadi pertanda lagi bahwa Indonesia diambang perpecahan. Negara melalui aparaturnya, harus bertindaktegas menegakkan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjamin terselenggaranya kehidupan Warga Negara Indonesia (WNI) dalam menganut dan melakukan ibadah sesuai ketentuan UUD 1945,”tutur Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta, Jhon Roy P Siregar, dalam siaran pers Forum Pemuda Kristiani Jakarta, yang diterima Minggu (22/12/2019).
Siregar menyampaikan, jangan sampai Negara ini membiarkan kesewenang-wenangan kaum intoleran merusak dan merampas kemerdekaan beribadah umat beragama di Indonesia.
“Negeri ini bukan milik para kaum intoleran. Kaum intoleran seperti itu adalah para pembangkang dan pengkhianat konstitusi Negara Republik Indonesia, mereka harus ditindaktegas,”ujarnya.
Aparatur Negara dan aparatur pemerintahan yang melanggengkan aksi-aksi intoleran terhadap Umat Beragama di Indonesia, adalah pengkhianat dan pembangkang Konstitusi. Segeralah dibersihkan.
Dia melanjutkan, peristiwa Pelarangan Ibadah Natal dan Tahun Baru, yang terjadi di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, yang didiamkan dan malah diamini oleh aparatur pemerintah dan aparat keamanan, menunjukkan pembangkangan nyata terhadap UUD 1945 dan Pancasila.
“Aksi-aksi intoleran juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Rumitnya memperoleh ijin mendirikan Rumah Ibadah, di sejumlah tempat, menunjukkan tidak berpihaknya aparatur pemerintah kepada hak Warga Negara Indonesia,”ujarnya.
Padahal, Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, di Sila Pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga UUD 1945, padal 28E ayat 1, Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, telah menjamin kehidupan beragama di Indonesia.
Kemudian, di Pasal 28E ayat 2 UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
“Komitmen dan Konsensus NKRI yang tegas dinyatakan di UUD 1945 itu dikebiri dan diselewengakan oleh aparatur Negara dan aparatur pemerintahan di berbagai daerah. Itu consensus yang lebih tinggi dari sekedar kesepakatan abal-abal yang didesain oleh aparat di sana,”jelasnya.
Jika itu yang akan terus-terusan terjadi, maka pencapaian Cita-Cita Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang aman, tertib, adil, makmur dan sejahtera, tidak akan tercapai.
Ketua Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, Robertus Bondan Wicaksono menegaskan, karena Indonesia bukan milik kaum intoleran, maka tindakan melarang peribadatan Natal Umat Kristiani harus dihentikan.
“Dan harus tindaktegas pelaku intoleran yang melarang Peribadatan Natal dan Tahun Baru Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat,” ujar Bondan.
Negara melalui aparatur Negara dan aparat pemerintahan Republik Indonesia yang benar, katanya, wajib melindungi dan menjalankan kebebasan menjalankan Ibadah Agama yang diakui di Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, urusan perijinan rumah ibadah umat beragama, jangan dipersulit. Dan jangan membawa dalil-dalil intoleran dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
“Kami meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, memastikan dan menjamin jalannya kemerdekaan beribadah bagi Umat Beragama di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meminta Wakil-Wakil Rakyat dan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah untuk menjamin terselenggaranya kemerdekaan beribadah bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
Penindakan terhadap kaum intoleran itu, lanjutnya, dengan cara meminta Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis untuk mencopot dan menindak tegas Kapolda Sumatera Barat dan jajarannya.
“Karena tidak melaksanakan amanat Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah itu. Juga hal yang sama di daerah-daerah lainnya,” lanjut Bondan.
Forum Pemuda Kristiani Jakarta juga meminta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menindaktegas jajaran pemerintahannya di Sumatera Barat dan daerah-daerah lainnya, yang marak melakukan tindakan intoleransi.
Mengajak seluruh pemuda, di Jakarta dan daerah-daerah, dari semua latar belakang, Suku, Agama, Ras, Golongan (SARA), untuk bersatu padu, memperjuangkan dan memenangkan persaudaraan Indonesia dan mengawal pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dalam koridor Pancasila dan UUD 1945.
“Kami juga meminta Tokoh-tokoh agama dan umat, di semua agama, untuk menjalin komunikasi dan persaudaraan Indonesia yang kokoh berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” katanya.
Selanjutnya, pihaknya juga mengajak seluruh elemen masyarakat melakukan gerakan-gerakan Penegakan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia di semua level. “Untuk menciptakan Perdamaian, Persaudaraan Yang Tulus, dan Penghargaan, Penerimaan dan Penghormatan kepada Kemanusiaan bagi seluruh umat beragama,” imbuh Bondan.
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sumatera Barat, Hendri menjelaskan kalau Umat Kristen tidak dilarang melakukan ibadah Natal di Sumatra Barat.
Namun, mereka membatasi perayaan Natal di luar tempat ibadah. Hal ini menurut Hendri merupakan hasil kesepakatan untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Kesepakatan ini sudah dibahas oleh Kemenag bersama Forkopinda, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan tokoh masyarakat. Rapat koordinasi untuk membahas persiapan perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung ini sudah dilakukan pada 16 Desember lalu, sebelum mencuat pemberitaan soal pelarangan perayaan Natal di media.
Menurut Hendri, rakor berlangsung di Gedung UDKP Kecamatan Kamang Baru. Hadir juga, perwakilan masing-masing agama, ninik mamak, pemuda, dan perwakilan Kesbangpol.
“Rakor menyepakati untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban serta kerukunan umat beragama. Pelaksanaan ibadah umat Kristen tidak dilarang. Namun, kalau berjamaah silakan dilaksanakan di tempat resmi yang sudah disepakati,” tutur Hendri seperti tertulis dalam siaran pers, Minggu (22/12/2019).
Hendri mengatakan, rakor kerap digelar menjelang perayaan hari besar, termasuk Natal. Khusus Natal di Dharmasraya dan Sijunjung, ada kesepakatan yang sudah berlangsung sejak 2005.
Kesepakatan ini dilakukan antara tokoh masyarakat Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, dengan umat kristiani yang berasal dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru. Kesepakatan itu juga dibahas dalam Rakor.
Menurutnya, masyarakat bersepakat untuk tidak melarang satu sama lain melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing di rumah masing-masing.
Namun, jika dilakukan berjemaah atau mendatangkan jemaah dari tempat lain, maka pelaksanaannya di rumah ibadah resmi di gereja dan memiliki izin dari pihak terkait.
Dia melanjutkan, rumah ibadah berbeda dengan tempat ibadah. Kalau tempat ibadah, maka setiap umat beragama bebas menjalankan ibadah di mana saja. Berbeda dengan itu, rumah ibadah terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan lainnya, juga dari sisi sosial.
“Karena kalau konsepnya rumah ibadah, maka bangunan itu adalah bangunan khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu,” ujarnya.
Rumah ibadah juga menjadi tempat penyelenggaraan ritual keagamaan yang tidak hanya diikuti satu dua orang, tapi bisa mencapai ratusan orang. Hal ini, langsung atau tidak langsung akan terkait dengan persoalan sosial di lingkungan sekitarnya.
“Karena di Dharmasraya tidak ada rumah ibadah berupa gereja, maka masyarakat bersepakat perayaan Natal bersama itu dilakukan di Sawahlunto, bukan di Dharmasraya dan Sijunjung. Karena di dua kabupaten itu nggak ada gerejanya. Jadi kami sudah bermusyawarah, membahas perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung,” katanya.
Terkait munculnya pemberitaan soal pelarangan ini, Hendri mengaku bahwa pihaknya sudah membentuk tim yang meninjau lokasi. Tim ini terdiri atas Kasubbag Kerukunan Umat Beragama, Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Sumbar, Kasi Kepenghuluan, Kasi Kemitraan Umat.
Pihak Mabes Polri menyampaikan, Umat Kristiani di Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya dan Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung Sumatera Barat, hanya bisa merayakan Hari Natal di gereja yang resmi, bukan di ruang publik secara besar-besaran.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, situasi ini sebenarnya bukan hal baru, karena sudah menjadi kesepakatan bersama antara warga di dua daerah tersebut sejak lama.
“Ada sebuah konsensus perjanjian dengan masyarakat setempat bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan ibadah ini pertama adalah dipersilakan melaksanakan ibadah Natal seperti biasa di tempat ibadah resmi dan juga dirumah secara pribadi. Namun, bila ada melaksanakan secara jamaah di rumah diminta oleh pemerintah Kabupaten dilaksanakannya di tempat ibadah resmi, jadi sekali lagi tidak ada larangan itu,” ujar Asep kepada wartawan di Hotel Bidakara, Kamis (19/12/2019).
Asep menambahkan, pihak keamanan yang terdiri dari TNI/Polri, dalam hal ini hanya bertugas menjaga perjanjian itu dan menjamin keamanan umat Kristiani dalam menjalani Ibadah Hari Natal.
“Jadi pihak kepolisian bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten untuk betul-betul menjaga konsensus ini, supaya semuanya bisa terjaga dan pihak kepolisian khususnya di-back up oleh TNI dan pemerintah daerah memberikan jaminan itu, bahwa tidak ada sama sekali larangan pelaksanaan ibadah menjelang Natal ini,” ujarnya.
Untuk diketahui, sejak tahun 1985, umat Katolik yang menetap di Nagari Sikabau melakukan kebaktian di sebuah rumah. Namun pada awal 2000, sekelompok warga menolak dan membakar rumah tersebut.
Akibat tindakan itu, umat Katolik di Kampung Baru tidak diizinkan untuk melaksanaan kebaktian dan merayakan Natal bersama sejak 2004-2018.
Ketua Umum Stasi Katolik setempat Maradu Lubis telah berupaya menjalin koordinasi dengan pemerintah dan kelompok masyarakat setempat pada 2010 hingga melapor ke Komnas HAM Sumbar pada 28 Maret 2018.
Namun hingga sebulan kemudian, Pemkab Dharmasraya tak kunjung merespons surat permohonan klarifikasi yang dilayangkan Komnas HAM.
Nasib serupa juga dialami tiga denominasi di Nagari Sungai Tambang. Mereka dilarang melakukan ibadah berjamaah di kawasan yang kerap terjadi masalah antaragama setiap tahunnya.
Polsek setempat sempat mempertanyakan legalitas rumah yang dijadikan tempat ibadah umat Kristen jamaat HKBP, GBI maupun Katolik.
Terkait hal itu, pihak kecamatan berusaha mengundang pimpinan dan perangkat setempat untuk menggelar rapat koordinasi pada 16 Desember 2019.(Nando)
Jakarta Aman, Daerah-Daerah Bergejolak, Negara Masih Absen Menindaktegas Aksi-Aksi Intoleransi. Hal itu terungkap Dialog Forum Pemuda Kristiani DKI Jakarta, yang terdiri dari Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta bersama Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, di Jakarta, Sabtu (21/12/2019). Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta, Jhon Roy P Siregar bersama Ketua Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, Robertus Bondan Wicaksono. Negara absen menindaktegas berbagai bentuk ancaman terhadap pembredelan pelaksanaan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila dan UUD 1945.
Negara, melalui aparaturnya, seperti aparatur pemerintahan di tingkat pusat hingga daerah, Polisi, TNI bahkan Pamong Praja, membiarkan pembangkangan konstitusi terjadi di depan mata.
Pembangkangan dan pengkhianatan konstitusi yang dimaksud adalah mengenai kebebasan beragama di Indonesia, sebagaimana pada Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Absennya Negara dalam menindaktegas kelompok-kelompok intoleran, bahkan aksi-aksi intoleran itu sebagian dimotori oleh oknum-oknum aparatur Negara, menunjukkan Indonesia terus menerus diambang kehancuran.
Hal itu terangkum dalam Dialog Forum Pemuda Kristiani DKI Jakarta, yang terdiri dari Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta bersama Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, di Jakarta, Sabtu (21/12/2019).
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta, Jhon Roy P Siregar bersama Ketua Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, Robertus Bondan Wicaksono, menegaskan, maraknya aksi-aksi intoleran yang sebagian besar dibiarkan dan bahkan dimotori oleh oknum-oknum aparat pemerintahan di berbagai daerah, menunjukkan lemahnya ketaatan terhadap Konstitusi NKRI.
“Kalau di Jakarta, Ibukota yang masyarakatnya sangat majemuk ini, sejauh ini aman. Yang kita cemaskan, di daerah-daerah di luar Jakarta, yang hari-hari jelang Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 ini, ada saja aksi-aksi intoleran. Terumata yang dialami Umat Kristiani. Entah apa salahnya Umat Kristiani, selalu saja dijadikan bulan-bulanan intoleransi,” tutur Jhon Roy P Siregar.
Mantan Aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) ini melanjutkan, seperti yang terjadi di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, adanya pelarangan Ibadah Natal bagi Umat Kristen adalah bentuk pembangkangan dan pengkhianatan terhadap terhadap Konsensus Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945.
Anehnya lagi, dikatakan mantan fungsionaris Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) ini, aksi-aksi intoleran seperti itu kian menjamur di berbagai tempat di Tanah Air.
“Sayangnya, Negara absen menegakkan konstitusi Negara Republik Indonesia atas tindakan-tindakan intoleran itu. Lebih miris lagi, yang turut melakukan aksi intoleran itu, bahkan ada yang memotorinya dari oknum aparatur Negara, oknum aparatur pemerintah, dan juga Pemerintah itu sendiri. Itu pengkhianatan konstitusi yang sangat telanjang, dan dibiarkan terjadi,” ungkap Jhon Roy P Siregar.
Bukan sekali dua kali hal seperti itu terjadi. Menurut dia, hampir di seluruh provinsi di Indonesia, aksi-aksi intoleransi itu terjadi. Termasuk di Jakarta.
Bagi Siregar, aksi-aksi intoleran kali ini bukan saja memanfaatkan isu agama, tetapi sudah mendarah daging bagai kebencian yang mengakar terhadap Umat Kristiani.
“Seperti sudah menjalar dan mendarahdaging. Entah apa kebencian yang dibuat-buat untuk menghambat Warga Negara Indonesia yang beragama Kristen,” ujarnya.
Dia melanjutkan, kalau di era Gubernur DKI Jakarta masih dipegang Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, kelihatan sekali itu hanya isu yang dimanfaatkan. Kalau di jamannya Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan kali ini, isu agama itu sudah meredup.
“Kami yakin, Gubernur Anies juga akan menjaga keberagaman dan perbedaan, tanpa membeda-bedakan agama, sebagai warga DKI Jakarta. Intoleransi tidak boleh tumbuh di DKI Jakarta dan di seluruh Indonesia,” tuturnya.
Ketua Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, Robertus Bondan Wicaksono mengatakan, aksi-aksi intoleransi terhadap umat beragama yang berbeda-beda itu adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Jika Negara, pemerintah, tokoh-tokoh agama, dan masyarakat mengerti dengan sungguh paham apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia (HAM) itu, pastilah tidak akan memperlakukan saudaranya sesama warga Negara Indonesia dengan perlakuan-perlakuan intoleran.
“Hak Asasi Manusia, namanya juga hak asasi. Paling dasar. Di belahan dunia mana pun, jika ada manusia yang hak asasinya dilabrak dan dilanggar, ya silakan anda sendiri melihat responnya seperti apa. Termasuk, saudara-saudara kita yang pelaku intoleran itu pun, sesungguhnya tidak akan terima jika hak asasinya dilanggar, bukan? Karena itu, janganlah juga melanggar hak asasi sesama warga Negara,” ujar Bondan.
Mantan Aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Lampung ini melanjutkan, Negara Republik Indonesia diperjuangan dan berdiri, merdeka dan hingga saat ini ada, bukanlah karena kaum-kaum intoleran yang memperjuangkannya. Tetapi oleh suku-suku bangsa yang sangat beragam, orang-orang Indonesia yang menganut agama yang berbeda-beda. Dan itu semua disepakati dan menjadi konsensus bersama sebagai Negara Indonesia dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945.
Karena itulah, lanjut Bondan, sungguh aneh jika ternyata ada orang yang mengatasnamakan tokoh agama tertentu, komunitas masyarakat tertentu, bahkan pemerintah dan aparaturnya, yang malah melakukan intoleransi dan selalu mengedepankan perbedaan SARA dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
“Negara dan aparaturnya harusnya hadir untuk menjamin pelaksanaan hak-hak dasar yang sudah disepakati di dalam konstitusi NKRI itu,” ujar Bondan.
Forum Pemuda Kristiani DKI Jakarta, yang terdiri dari Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPD GAMKI) Provinsi DKI Jakarta bersama Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta, menyatakan keprihatinannya atas masih maraknya aksi-aksi intoleransi di Indonesia. Juga, masih terjadinya diskriminasi rasial dan perbedaan SARA di Indonesia.
Kiranya, Negara dan aparaturnya, hadir untuk menjamin dan menegakkan konstitusi Negara Republik Indonesia. “Kami sampaikan, kami para pemuda dari Jakarta, prihatin dengan aksi-aksi intoleran itu. Kami juga meminta aparat keamanan tidak berpihak kepada para kaum intoleran. Hadirlah dan tegakkan konstitusi NKRI,” ujar Bondan.
Reza, Pemuda Minangkabau, Sumatera Barat, yang bekerja di Jakarta, juga menyampaikan sangat prihatin dengan aksi-aksi intoleran yang terjadi kepada Umat Kristiani di Tanah Leluhurnya, Sumatera Barat.
Menurut Reza, sejak sebelum Indonesia sebagai Negara ada, para pejuang nasionalis dan pendiri bangsa Indonesia banyak berasal dari Minangkabau. Ada Mohammad Hatta, Syahrir, Buya Hamka, Agus Salim dan bejibun tokoh Minangkabau yang menjadi pendiri Indonesia.
“Kok malah di Minangkabau ada intoleransi terhadap umat beragama? Ini tidak boleh dibiarkan terjadi. Kita ini Indonesia, perbedaan Agama itu jangan jadi alasan untuk saling menyakiti,” ujar Reza.
Dia juga meminta saudara-saudaranya sesama orang berdarah Minangkabau untuk menjaga saudara-saudara sebangsa dan setanah air Indonesia yang ada di Sumatera Barat.
Orang Padang, lanjutnya, juga suku bangsa perantau yang ada di berbagai belahan Nusantara. Karena itulah, toleransinya dan penerimaan terhadap Minangkabau selama ini sangat baik dari suku-suku dan agama lain kepada orang Minangkabau.
“Kita ini Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tindakan intoleran kepada Umat Kristen di Sumatera Barat tidak boleh terjadi. Itu harus dihentikan. Mari kita jaga Indonesia dan persaudaraan Indonesia, tanpa membeda-bedakan SARA. Mari kita jaga berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” tutup Reza.(Nando) https://sinarkeadilan.com/jakarta-aman-daerah-daerah-bergejolak-negara-absen-tindaktegas-aksi-aksi-intoleransi/
1.Presiden Jokowi Lantik Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas di Istana Hari Ini,
Laode Syarif Titip Tiga Kasus Besar untuk Dilanjutkan Firli Cs-
2.Menteri Agama Fachrul Razi Tegaskan, Akidah Orang Tidak Terganggu Karena Ucapkan Selamat Natal, Polri Ingatkan Ormas yang Lakukan Sweeping Bisa Dijerat Pidana
3.Pem. Jokowi Bangun Jalan 200 Km di Perbatasan RI-Malaysia dan menjajal jalan perbatasan Indonesia-Malaysia di Nunukan, Kalimantan Utara dengan menunggangi motor custom jenis Bobber.
4.Menteri BUMN Erick Thohir Punya Rencana Besar Sembuhkan Jiwasraya, Eks Dirkeu Jiwasraya Kaget Dikabarkan Kabur ke London, Ia Bilang Perusahaan Tak Pernah Alami Gagal Bayar, Dituding Korupsi Rp 13 T, Eks Dirkeu Jiwa Sraya Hormati Proses Hukum, Dubes Korsel Desak RI Bereskan Kisruh Jiwasraya
5.Sri Mulyani Buka-bukaan Soal Radikalisme di Kemenkeu, Ia Cerita Panjang Lebar Soal Eselon II di Kemenkeu yang Terpapar Radikalisme
6.Menko Polhukam Mahfud MD : Hukum Dibeli, Ada Pasal Dibuat karena Pesanan, Menko Polhukam Mahfud MD: Birokrasi Kita Sangat Koruptif, Malas, dan Tak Produktif, Mahfud MD : Tak Ada Aturan Hukum yang Mendiskriminasi Perempuan , Pengesahan RUU PKS Jalan Keluar bagi Perlindungan Perempuan,
7.Anggota Komisi X Usul Uji Psikomotorik Masuk ke Asesmen Pengganti UN, F-PAN DPR : Program Merdeka Belajar Mendikbud Nadiem Lompat-lompat, Kemendikbud Jelaskan Alasan di Balik Konsep Merdeka Belajar Nadiem Makarim
8.KPK Kritik Omnibus Law Mau Hapus Hukuman Penjara Bagi Pengusaha Bandel atau Korporat, Yasonna Bilang, Mereka Belum Baca, Pemerintah dan DPR Didesak Libatkan Publik Bahas RUU Omnibus Law, PSHK Pesimis DPR Mampu Selesaikan 50 RUU Prolegnas Prioritas 2020
9.Komnas Perempuan: Kekerasan di Era Digital Semakin Kompleks
10.Menko Mahfud Md Bilang, Personil Dewas KPK Bagus-Bagus, Artidjo-Albertina dkk Tidak Punya Cacat, Din Syamsuddin: Kalau Tak Setuju Dewas KPK Jadilah Presiden
11.Menko PMK Muhadjir Bicara Indonesia Sentris Saat Resmikan Gedung Baru UMKT
12.Ketemu Komisi II DPR RI, Ridwan Kamil Curhat Soal Daerah Otonomi Baru (DOB) di Jabar, Ia Minta Komisi II DPR Bantu Merealisasikan usulan DOB yang Tertunda Bertahun-tahun
13.Menkominfo Targetkan UU Perlindungan Data Pribadi Terbit 2020, ELSAM Minta Presiden Jokowi Segera Terbitkan Surpres RUU Perlindungan Data Pribadi
14.KLHK Jelaskan Fenomena Munculnya Ular Kobra di Permukiman, WALHI Sebut Sikap Indonesia di KTT Iklim Madrid
15.Menteri Sosial Tetapkan 10 Juta Penerima PKH Tahun Depan 16.38 Napi Teroris Ikrar Setia NKRI di Hari Bela Negara
17.Donald Trump Dimakzulkan DPR AS, Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto : Nasib Donald Trump Tergantung Senat, Putin: Alasan Pemakzulan Donald Trump Dibuat-buat, Gedung Putih: Trump Yakin Akan Bebas Sepenuhnya, Hindari Wartawan di Gedung Putih
18.Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin Dorong Pemerintah Usul TPF Internasional Terkait Uighur
Dua belas tahun silam, Yunita Dwi Fitri mengalami peristiwa yang membuatnya nyaris terjerumus dalam kegiatan kelompok Islam ekstrem yang menghalalkan kekerasan.
Yunita menuliskan pengalamannya di laman Facebook yang diberi judul 'Saya hampir jadi teroris' tidak lama setelah serangan bom bunuh diri di tiga gereja dan kantor polisi di Surabaya yang melibatkan sejumlah perempuan yang membawa anak-anaknya.
"Anak-anak muda mesti lebih waspada. Mereka mengincar anak-anak muda. Penampilan mereka biasa saja, tidak mencurigakan," ungkap Yunita dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Kamis (17/05).
Pada kalimat pertama kesaksiannya, Yunita mengaku memberanikan diri untuk mengungkapkan pengalamannya sebagai bentuk kepedulian.
"Karena saya peduli, jadi saya mau berbagi cerita 12 tahun yang lalu," Yunita mengawali kesaksiannya.
Dengan alasan yang sama, sejumlah pengguna media sosial lainnya dalam waktu hampir bersamaan juga membuat kesaksian yang relatif sama - pernah dibujuk oleh orang-orang yang menawarkan ideologi kekerasan atas nama Islam.
Pada 2006, saat sibuk menyelesaikan tugas skripsi di sebuah perguruan tinggi di Bandung dan dalam perjalanan ke kampus, Yunita dihampiri seorang perempuan yang mengaku lulusan SMA dan meminta tolong dicarikan pondokan atau indekos.
Kebetulan tempat indekosnya ada kamar kosong, Yunita lantas mengajak perempuan itu ke pondokannya. "Dia enggak pakai jilbab dan awalnya penampilannya tidak mencurigakan," ungkapnya.
Tiba di lokasi pondokan, perempuan itu menolak bertemu pemilik pondokan dan justru minta minum dan duduk di dalam kamar Yunita. Di sinilah Yunita mulai berpikir "agak aneh" melihat perangai tamunya.
"Suka baca alquran ya?" Sang tamu bertanya pada Yunita saat melihat Alquran dalam kondisi terbuka di meja belajarnya. Yunita mengiyakan dan mengaku "sedang belajar tafsir Alquran".
Tidak lama kemudian, perempuan itu meneruskan pertanyaannya: "Boleh enggak saya ajak teman saya ke sini, kita belajar bareng tentang tafsir Alquran?" Yunita, yang masih penasaran, mengiyakan.
'Sangat sopan sekali'
Sesuai janji, perempuan itu mengajak rekannya seorang perempuan berjilbab - yang usianya sekitar 22-23 tahun - ke kamar kos Yunita.
"Ngomongnya tertata banget, duduknya pun sangat sopan sekali," ungkap Yunita menggambarkan sosok tamunya itu.
Di hadapannya, perempuan berjilbab itu meminta Yunita membuka Alquran dan diminta membacakan sejumlah ayat. Menurutnya, sang tamu tidak memberi kesempatannya untuk bertanya.
"Pokoknya, kalau disimpulkan, harus jihad segala macam... Intinya kalau ada orang kafir, bunuhlah. Seolah-olah menyuruh saya seperti itu," papar Yunita.
Dia mengaku kaget dan seperti kehilangan kata-kata saat menyimak ucapan sang tamu tersebut. "Masak sih kayak gitu... Dalam batin, saya tetap ada penolakan. Masak sih kayak gitu."
'Ibu saya kaget, dan menduga saya akan dibaiat Negara Islam Indonesia (NII)'
Pijar Anugerah, wartawan BBC News Indonesia
Ketika saya di kelas tiga SMA, sekitar tahun 2008, saya dekat dengan seorang alumni yang menjadi pembina di kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) Kelompok Ilmiah Remaja. Kakak kelas ini telah menjadi mahasiswa di sebuah universitas terkemuka di Bandung.
Di luar kegiatan ekskul, ia menawarkan saya dan beberapa kawan sekelas untuk bimbingan belajar gratis menjelang Ujian Nasional (UN). Saya pun menyanggupi. Kami pun beberapa kali mengadakan sesi belajar di masjid dekat sekolah setelah salat zuhur.
Pada suatu hari, kebetulan hanya saya yang hadir, ia mengajak saya untuk belajar di tempat lain. Dengan membonceng motornya, saya dibawa ke sebuah rumah di daerah yang cukup jauh dari sekolah. Di rumah itu saya diperkenalkan dengan seorang laki-laki berkacamata, yang tidak terkesan bisa mengajari saya materi UN.
Dan memang, saya menyadari tak lama kemudian, bahwa saya tidak diajak ke sana untuk bimbingan belajar. Laki-laki berkacamata itu mengajak saya 'kajian' tentang Islam.
Ia berusaha menggoyahkan anggapan tentang Islam yang saya pegang selama ini. Caranya, dengan mengajukan rangkaian pertanyaan untuk mengarahkan saya ke kesimpulan yang ia inginkan.
Misalnya, ia bertanya: "Kamu Muslim bukan?" Saya pun menjawab iya. Kemudian ia bertanya lagi, "Apa buktinya kalau kamu Muslim?"
Untuk menjadi seorang Muslim, katanya, seseorang harus mengucapkan dua kalimat syahadat; dan karena saya dilahirkan di keluarga Muslim dan dibesarkan sebagai Muslim, saya tak pernah mengucapkan syahadat dengan disaksikan orang lain seperti orang-orang non-Muslim yang hendak pindah agama.
Saya pun ditawari untuk mengucapkan syahadat dengan disaksikan oleh mereka. Saya pun ragu, dan berkata ingin memikirkannya terlebih dahulu. Si laki-laki berkacamata dan si kakak kelas terus membujuk saya. Tapi akhirnya mereka menyerah. Saya diantar pulang tanpa sempat belajar apapun tentang materi UN.
Di rumah, saya menceritakan pengalaman tersebut ke Ibu saya. Ibu pun kaget, dan langsung menyuruh saya untuk menjauh dari orang-orang itu. Ibu menduga saya hampir dibaiat untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII), kelompok yang merupakan cikal bakal Jamaah Islamiyah.
Terduga teroris yang menyerang Mapolda Riau pada hari Rabu (16/05) disebut adalah anggota NII.
Kebetulan, Ibu biasa mendengarkan ceramah Ustad Aam Amirudin di radio OZ setiap pagi. Dari beliaulah Ibu mengetahui tentang cara perekrutan NII, yang disebutnya sebagai kelompok yang eksklusif dan membolehkan anggotanya untuk melakukan kejahatan selama demi kepentingan kelompok.
Setelah itu, saya sempat ditelepon dan diajak kembali untuk ikut 'kajian' dua-tiga kali. Saya terus menolak, dan kemudian mereka berhenti menghubungi saya.
Saya pun lulus UN dan, uniknya, masuk universitas yang sama dengan kakak kelas yang pertama kali mengajak saya ikut 'kajian' itu. Kami bahkan melakukan penelitian di laboratorium yang sama. Hubungan kami tetap baik, meskipun tidak begitu dekat, dan ia tak pernah menyinggung lagi soal kajian selama kami di kampus.
Namun dua tahun kemudian, saya mengetahui kalau ia ternyata mencoba merekrut beberapa adik angkatan saya. Kali ini modusnya adalah bimbingan tes TOEFL dan lokakarya teknik penginderaan jauh atau GIS. Saya pun segera memperingatkan adik-adik angkatan.
Tapi sikap mereka tampaknya lebih santai. Mereka memanfaatkan kesempatan untuk les gratis, tanpa bergabung dengan kelompok manapun.
Pertemuan yang berlangsung tidak sampai satu jam itu akhirnya berakhir, "tanpa ada basa-basi," ujar Yunita mencoba mengingat lagi kejadian itu.
Merasa penasaran, Yunita tidak menolak saat ditanya apakah dirinya tidak keberatan untuk melanjutkan belajar tafsir Alquran di tempat kos sang tamu tersebut.
'Pintu dan jendela ditutup rapat'
Keesokan harinya, Yunita dijemput untuk melanjutkan belajar tafsir Alquran di tempat pondokan perempuan yang memberikan materi "jihad" kepadanya.
Yunita mencoba mengingat lagi lokasi pondokannya yang disebutnya "agak masuk ke dalam dan jauh dari keramaian".
"Nah, saya yang kaget itu kamarnya sama-sekali tidak ada barang. Jadi cuma ada lemari berukuran sedang dan tikar," ungkap Yunita.
Dia kemudian duduk di ruangan itu, dan sambungnya, pintu serta jendelanya ditutup rapat oleh salah-seorang perempuan itu. "Gordinnya juga ditutup."
Dalam momen inilah, Yunita mengaku mulai takut ("saya takutnya diculik," akunya, mengenang). "Tapi karena masih penasaran, saya coba ikuti."
Menggambar 'mobil masuk jurang' dan 'apel busuk'
Di ruangan berukuran tiga kali tiga meter itulah, perempuan berjilbab itu kemudian mengeluarkan papan tulis yang semula disimpan di balik lemari.
"Tidak ada Alquran di ruangan itu," ungkap Yunita.
Kemudian perempuan itu menggambar mobil, dengan sejumlah penumpang di dalamnya, yang kemudian jatuh ke jurang. "Dia sistematis sekali menjelaskannya."
"Kalau pengemudinya salah mengendarai mobilnya dan masuk ke jurang, maka semua penumpangnya ikut mati jatuh ke dalam jurang."
Yunita melanjutkan: "Dia menggambarkan sebuah negara kalau pemimpinnya salah, pemimpinnya enggak sesuai dengan (tafsirnya atas) apa yang ada di Alquran itu, yang kemarin dia bicarakan itu, kita akan salah jalan juga."
Di hadapan Yunita, perempuan itu juga menggambar buah apel dalam kulkas. Dia menggambar satu buah apel busuk dan beberapa buah apel yang segar.
"Apel-apel lain yang bersih, ikutan busuk juga karena ada satu apel busuk. Intinya, apel busuk harus disingkirkan."
Dalam laman Facebooknya, Yunita menjelaskan bahwa simbol apel busuk itu berarti "itulah jika masih berteman dengan orang kafir dan tidak sepaham dengan kita", seperti diutarakan sang perempuan tersebut di hadapannya.
Ada beberapa materi lainnya yang disampaikan, tetapi Yunita mengaku lupa.
Dimintai sumbangan Rp400 ribu
Lebih lanjut Yunita mengungkapkan bahwa sang perempuan itu kemudian menjelaskan bahwa untuk misi mendirikan "negara baru untuk Allah" diperlukan dana.
"Intinya sodaqoh (atau sumbangan), dan sodaqoh awalnya sebesar Rp 400 ribu," kata Yunita menirukan ucapan perempuan tersebut. Uang itu diminta diserahkan esok harinya.
Yunita mengaku saat hendak menanyakan kenapa sumbangannya sebesar Rp400 ribu, perempuan itu berkata: "Karena dengan pengorbananmu, maka Allah akan tahu sampai mana pengorbananmu untuk Nya."
Belum sempat bertanya, perempuan itu membombadirnya dengan kalimat: "Saya tahu kamu masih mahasiswa, jadi belum tahu cari uang sebesar itu."
Perempuan itu kemudian menceritakan pengalamannya: "Saya di awal pun menjual telepon genggam saya untuk sodaqoh Rp400 ribu."
Dalam Facebooknya, Yunita menulis bahwa dirinya dibolehkan berbohong kepada orang tuanya. "Bahkan ketika kamu berbohong meminta uang ke orang tua atau menjual telepon genggammu adalah sebuah pengorbanan untuk Allah..."
Merasa dicuci otak
Mendengarkan apa yang diutarakan perempuan itu, Yunita mulai melihat ada keanehan. "Masak saya diminta berbohong. Bukankah berbohong itu berdosa?" Tapi Yunita mengaku tidak ingin terlihat seperti menolak ajakan itu.
Di akhir pertemuan, Yunita diminta tidak menceritakan hasil pertemuan itu kepada siapapun.
"Jujur saja, saya cukup merasa dibrainwash (dicuci otak) untuk mengikuti perkataannya, sampai saya enggak berani ngomong ke teman terdekat," katanya. Kebetulan sebagian besar teman-temannya di kampus adalah non Muslim.
Selain diminta menyumbangkan uang Rp400 ribu, Yunita diminta mengenakan jilbab putih, kemeja putih serta celana bahan hitam pada esok harinya.
"Saya diajak janjian naik kereta api ke Cimahi, sambil bawa uang Rp400 ribu, dan mengenakan jilbab," ungkapnya.
Mendapat pencerahan: 'Modus NII'
Mendengarkan suara hatinya, Yunita kemudian memutuskan mencari orang yang dianggapnya memahami masalah keislaman. Hal ini kemudian mengantarnya ke yayasan Darut Tauhid di kawasan Geger Kalong, Bandung.
Di masjid yayasan itu, Yunita mengaku menemui dan berkenalan dua mahasiswi berhijab panjang. "Singkat cerita, mereka adalah penyelamat saya," ungkapnya.
Dia kemudian menceritakan pengalamannya tersebut. "Mereka yang bercerita bahwa modus seperti itu dilakukan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII)."
Mereka kemudian menasihati agar Yunita tidak mengikuti lagi pertemuan dengan orang-orang tersebut.
"NII berusaha mencuci otak anak-anak muda, banyak di antara mereka yang hilang, meninggalkan keluarga demi membangun NII, menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang," ungkapnya menirukan keterangan dua mahasiswa tersebut.
'Karena saya peduli'
Yunita mengaku saat itu langsung percaya dengan keterangan mereka. "Saya langsung sadar." Yunita kemudian memutuskan untuk tidak memenuhi perjanjian pertemuan di Cimahi.
Suatu saat, dia berpapasan dengan peremuan yang mengaku lulusan SMA yang meminta tolong dicarikan pondokan tersebut. "Dia berjilbab dan pura-pura tidak melihat saya."
Yunita mengaku selalu teringat kembali peristiwa itu setiap muncul kasus-kasus kekerasan atas nama agama, termasuk serangan bom bunuh diri di Surabaya.
Dia kemudian menjelaskan motifnya berbagi pengalaman tersebut di media sosial. "Karena saya peduli, jadi saya mau berbagi cerita 12 tahun yang lalu," tegasnya.
Dia juga mengharapkan pengalamannya ini bisa diketahui anak-anak muda sehingga "lebih waspada" dan "berhati-hati".
"Mereka mengincar anak-anak muda yang sedang cari jati diri. Saya harap mereka lebih waspada."